Chapter 14

7.4K 855 61
                                    

"Aku sudah bilang padamu jangan pernah menyentuh putriku!"

"Pergi kamu anak kurang ajar!"

Kaki yang sudah menghantam punggung sikecil membuatnya kembali menangis, ia hanya duduk disamping Ibunya, menatap Ibunya yang memegang cutter ditangan, sikecil menatap tidak mengerti dengan air mata yang masih terjatuh.
Tiba-tiba tendangan kembali mendarat didadanya, membuat si kecil tersungkur ketanah, hingga wajahnya memar merah. Dan cutter mendarat didekat kakinya.

"Pergi!! Jangan mati dirumahku! Seisi rumah terkena najis jika mayatmu disini!"

Apa yang didengar sikecil tidak bisa masuk kedalam otaknya, bahasa-bahasa yang keluar dari mulut wanita paruh baya membuatnya bingung. Yang bisa si kecil lakukan adalah memeluk kaki Ibunya yang sekarang sudah mencengkram kuat lehernya.

Wanita paruh baya menyeret satu kaki sikecil, dan mendorong paksa keluar rumah. Membanting pintu dengan keras, meninggalkannya seorang diri, ditengah malam yang sunyi.

Si kecil hanya terus menangis, tanpa ia tahu kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Seminggu lalu, si kecil tidak diberi makan selama dua hari akibat pipis didalam rumah. Sampai ia membenci kepunyaannya sendiri.

Namun, untuk hari ini, sikecil berusaha berbuat baik, ia bahkan tidak pipis dicelana, menahan untuk makan, yang sebenarnya perutnya sudah sakit. Mengapa semua orang masih saja membencinya? Semua orang masih saja memukulnya. Semua orang masih saja membuat tubuhnya terluka.

Mengapa??

Akhirnya, sikecil memeluk kakinya, mengusap punggung yang sakit, membenamkan wajahnya diantara kaki. Sampai ia tertidur menahan penderitaan. Dan untuk kesekian kalinya, si kecil tertidur diluar bersama dengan angin yang menghinanya...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"Terimakasih."
Yuki turun dari motor Aldo. Mengucapkan satu kalimat dengan menundukan wajahnya kebawah.

"Nggak gratis." Jawab Aldo seraya menatap Yuki, dan yang ditatap masih melihat kebawah.

"Nanti aku bayar."

"Aku nggak butuh uang."

Yuki mulai mengangkat wajahnya, melihat Aldo. Dan Aldo baru menyadari, ternyata wajah Yuki begitu manis, meskipun dia tidak tersenyum. Mata berwarna cokelat redup seakan tidak hidup, alis yang hitam tebal, hidung mancung, bibir mungil dan tipis. Membuat Aldo menatap tidak mengedip.

Seandainya Yuki adalah lelaki yang ceria, tidak tertutup seperti ini, semua orang akan menyanjungnya bersamaan dengan otaknya yang brilian..

Ahh Yuki..

Menyadari bahwa orang didepan sedang menatapnya, Yuki langsung membenamkan topi semakin bawah, menyembunyikan matanya.
"Lalu apa?" Tanya Yuki.

"Ikut party anniversary wedding orangtuaku." Jawab Aldo dengan percaya tinggi.

Sebelum menjawab dengan jawaban 'Tidak' seseorang dari belakang memanggilnya, Yuki tahu itu adalah wanita yang selalu membagi gaji bulanannya.

"Yukii.. Sini.."

Yuki langsung berlari, meninggalkan Aldo tanpa menjawabnya.

Aldo tersenyum tipis, melihat tingkah Yuki. Ia melajukan motornya. Namun tatapannya tidak lepas dari Yuki.

Yuki menerima gaji bulanannya, dengan datar. Dan seperti biasa, ia mengabaikan ajakan teman-temannya yang akan makan bersama setelah pulang bekerja. Memang diwajibkan bagi semua orang setelah menerima gaji langsung pergi makan, merayakan lelah setelah sebulan menyapu jalan, meskipun diwarung-warung pinggir jalan. Sayangnya, Yuki tidak pernah menerima ajakan mereka. Tidak mungkin Yuki menghabiskan uang demi hal seperti itu.
Sayang rasanya.

Yuki memasukan amplop yang berisi uang kedalam saku celananya. Ia mengambil sapu dan mulai menyapu jalanan.

Peluh keringat yang bercucuran ia usap. Sebenarnya, hari ini ia merasa sangat lelah, mungkin karena tubuhnya yang semakin melemah. Ia paksa agar kakinya terus menampung berat badan, karena jam pulang masih sangat lama.

Disebrang sana ada seorang kakek yang mendorong gerobak, pedagang minuman dingin. Yuki jarang sekali jajan. Tapi pintu nuraninya terketuk ketika melihat Kakek yang sudah tua membunyikan lonceng ditangannya. Yuki menghentikan sipedagang, lalu membeli satu gelas besar. Meneguknya dengan sangat nikmat.

Sesudah habis, ia memberikan uang berwarna biru kepada pedagang.

"Saya carikan kembaliannya, ya."

"Nggak usah, buat Bapak saja." Jawab Yuki sedikit menggeleng

"Nggak perlu De. Ini terlalu banyak."

"Ambil aja." Jawab Yuki tersenyum.

Sipedang membalas senyum, dan melajukan lagi gerobaknya.

Yuki sadar, kemarin ia juga pernah merasakan kebahagiaan ketika seseorang membantunya, mendapatkan upah lebih banyak, dan perasaan itu sangat membuat Yuki bahagia.

Ditempat yang berbeda, Aldo sedang memesan kopi di kedai, sambil memperhatikan Yuki menyapu jalanan, sesekali ia bisa lihat, tangannya mengusap keringat, atau tangannya membenarkan topi. Aldo membulatkan matanya seolah tak percaya, melihat Yuki membeli minuman, Aldo pikir Yuki tidak pernah jajan. Namun hari ini ia bahkan memesannya dengan gelas super besar.

Sipedagang melewati Aldo yang melamun didalam kedai. Kemudian ia berlari keluar, menghentikan si pedagang, memesan minuman dengan gelas kecil.

"Pak, yang menyapu jalanan tadi beli minuman ini?"

Si pedangan lantas mengangguk sambil menjawab. "Oh iya. Dia bahkan memberikan uang lebih pada saya. Padahal saya tau sendiri gaji perbulan yang didapat dengan menyapu jalanan begitu kecil."

"Apa Bapak tau berapa gaji yang diterimanya?" Tanya Aldo penasaran.

"Ada yang bilang ibu-ibu saat membeli minuman ini, hanya tujuh lembar uang merah saja. Padahal, mereka bekerja dari siang hingga petang, dan kalau telat saja akan dipotong."

Lagi-lagi, jantung Aldo berpacu sangat cepat, seperti kuda yang sedang berlomba di arena pacuan kuda. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya.

Uang itu, adalah jajanan sehari-hari Aldo, dan Yuki mendapatkannya setelah sebulan bekerja? Itupun jarang utuh?

Aldo ingin sekali memeluk Yuki. Maksudnya ia ingin sekali menghibur Yuki dengan keadaannya saat ini.
Bahkan Aldo tidak bisa membayangkan, Yuki yang bekerja seperti ini selama enam tahun. Dan memulai ketika ia berusia sebelas tahun.

Mengapa ia tidak bisa mengandalkan otaknya? Ia jelas bisa menjadi guru les sekolah dasar. Kenapa memilih pekerjaan yang tidak menghasilkan uang!?

Tbc.

One Month [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang