Chapter 17

7.4K 880 15
                                    

Jika saja sikecil berhasil digugurkan dalam kandungan Ibunya, mungkin sekarang ia tidak perlu merasakan biadabnya manusia, kejamnya dunia..

Seandainya.....

Wanita cantik setiap hari menyiksanya, mencekiknya, bahkan ketika ia sedang makan, satu mangkuk berisi sup wortel dilempar ketubuh sikecil yang sedang sakit demam, ia tidak menangis, tidak juga berteriak, sikecil hanya menggigit bibir bawahnya dengan kuat, menahan semua yang ingin ia keluarkan.
Ia terus memeluk kedua kakinya, rasa takut dan luka terus mendarah daging, ketika sayatan silet ia rasakan ditangan kiri, wanita cantik terus tertawa sambil menyayat tangan mungil, ada sebuah kebahagiaan dengan tawanya.

Sikecil tahu. Sekarang, orang-orang disekitarnya tidak ada yang menyayanginya, tidak ada yang menginginkannya, tidak ada yang mencintainya. Sampai, ia terus berpikir dalam hati.

Apakah semua orang sama jahatnya?

Apakah semua orang sama kejamnya?

Apakah semua orang sama, tidak menginginkan dirinya?

Ketika sedang menikmati sayatan silet yang melebar dari tangan mungilnya, kini kepalanya ditampar dengan keras, sikecil mendongak, ternyata wanita setengah baya yang sedang bahagia dengan tamparannya.

Rasa sakit tentu saja merayap masuk sampai kesendi-sendinya. Namun, ia tidak menangis. Mungkin saja, tanpa tangisannya, semua orang mulai membuka hati mereka, datangnya si kecil kedunia ini. Menerimanya, seperti ia lihat teman-temannya yang tersenyum indah didepan orang-orang disekelilingnya...

Ya....

Semoga saja....

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Ki, maafin aku yah. Aku nggak bisa nganter kamu pulang. Hari ini, Mommy udah pesen jangan pulang telat. Nanti sore, jam tiga aku jemput. Bye."
Aldo melambaikan tangannya kepada Yuki sambil berjalan keparkiran, tak lupa senyum sumringah terlihat jelas di wajahnya yang rupawan.

Yuki langsung berjalan melewati gerbang, dan Aldo sudah membunyikan klakson masih sambil tersenyum.

Diperjalanan, Yuki berjalan santai, ia tidak repot-repot dengan langkah yang besar, karena tidak akan pergi bekerja siang ini.

Ia menyukai jalanan ini, karena disinilah, tempat ia ditinggalkan, karena di gubug inilah, tempat ia dibuang.
Yuki tidak ingin pergi dari gubugnya, tidak ingin beranjak satu langkahpun. Hatinya masih selalu berharap, wanita cantik datang kepadanya, memungutnya kembali, kemudian mencium, memeluk mesra tubuh kotornya.

Ia masih selalu berharap.

Dengan harapan yang tidak mungkin menjadi kenyataan..

Setelah sampai di gang, tidak ada preman-preman, Yuki menghembuskan nafas lega, semoga saja sampai Aldo menjemputnya para preman masih tidak ada. Ia membuka pintu, menuangkan air kedalam gelas, lalu meneguknya.

Karena besok akhir pekan, Yuki akan mencuci seragamnya, mencuci semua cucian yang sudah menumpuk didalam kamar mandi. Padahal, cuma ada dua pakaian lusuh disana.

Setelah mencuci dan menjemur pakaian. Ia mandi, membersihkan diri sampai ke sela-sela jarinya, menyabuni seluruh tubuhnya agar wangi. Setelah selesai, ia mulai membuka laci kecil tempat pakaian-pakaiannya, memilah milih baju apa yang akan ia kenakan hari ini.

Sebenarnya, Yuki tidak pernah merasa cemas dengan hal sepele seperti ini. Namun, ini adalah acara formal, pasti akan banyak tamu dari kalangan atas yang datang, Yuki sendiri tidak ingin membuat Aldo malu dengan membawa Yuki berpenampilan seperti gelandangan.

Namun, ia tidak punya pakaian bagus, Yuki hanya punya tiga kaos pendek, dua kaos panjang, tiga celana penjang. Itupun sudah sangat lusuh, dan beberapa ada yang bolong-bolong kecil.
Lalu, pakaian apa yang sekarang ia harus pakai?

Ahh, iya, sebelum William pergi, ia sempat memberikan baju kemeja merah cerah kepada Yuki.
Tetapi, Yuki lupa dimana kemeja itu ia simpan? Bukankah sudah lama? Sudah dua tahun yang lalu? Apa Yuki membuangnya? Satu tangannya mengusap-ngusap dagu, berpikir dengan keras.

Tidak lama, kakinya berjinjit, tangannya terulur keatas, mencoba menggapai kardus diatas atap yang terbuat dari kayu. Tangannya menekan ujung kardus hingga seluruh barang didalam kardus berhamburan kebawah.

Disana ada pakaian terakhir yang Yuki pakai dulu sebelum tinggal disini, dua pakaian kemeja pemberian Wiliam, dan fotonya dengan Wiliam. Kemudian, kartu kredit pemberian Wiliam. Tangan Yuki mengambil kemeja berwarna merah, dan berjinjit kembali menyimpan kardus diatas atap.

Ini pertama kalinya Yuki membuka kemeja, mungkin kemeja ini sudah kecil dibadan Yuki. Karena dulu, William membeli dengan ukuran pas tubuhnya.

Yuki memakai kemeja tangan panjang, ternyata masih pas dibadannya, bahkan disekitar tangannya terasa longgar. Sekarang Yuki tahu, bahwa dirinya semakin kurus, dan semakin kecil.

Karena tidak ada cermin, Yuki hanya terus memutar-mutar kepalanya, melihat dengan susah kesemua arah tubuhnya.

Ya. Semuanya sudah bagus menurut Yuki. Ia mulai memakai topi, dan memakai sepatu baru yang sudah ia beli, lusa kemarin. Yuki duduk ditengah-tengah kasur, tidak ada jam digubugnya, Yuki tidak tahu pukul berapa sekarang.

Ohh. Ada yang lupa!

Bukankah kepesta harus wangi? Sedangkan Yuki tidak punya parfum. Ia berjalan lagi, mengambil uang untuk membeli parfum keswalayan.

Yuki berjalan sekitar limabelas menit untuk sampai di swalayan, di perjalanan ia terus membenarkan kemejanya, ia merasa tidak percaya diri sekarang, tidak memakai hoodie. Bahkan ini baru pertama kalinya bagi Yuki memakai kemeja.

"Beli apa dek?" penjaga swalayan menyapa ramah Yuki ketika melihat Yuki kebingungan memilih parfum.

"Parfum." Jawabnya tanpa melirik si pelayan.

"Anda hanya bisa menghirup aroma dari dalam saja. Tidak bisa dicoba. Ini parfum yang banyak diminati oleh banyak pemuda seusia anda." Ucap pelayan sambil memegang satu parfum semprot.

"Permen karet ada?"
Oh, ayolah, kenapa harus permen karet, Yuki?

"Oh ada. Itu disebalah sana. Kebetulan sedang discoun 30%. Anda bisa menghirupnya."

"Yang ini."

Yuki mengambil satu parfum wangi permen karet. Meskipun tidak sewangi milik Aldo. Namun, parfum ini cukup menenangkan baginya.
Karena dari kemarin Yuki tidak makan, ia mengambil dua roti. Lalu membayarnya.

Diperjalanan pulang. Yuki menyemprotkan parfum kesemua pakaiannya, lalu ia menghirup sendiri.
Benar, parfum ini mengingatkannya kepada William, kepada Aldo juga.

Ia membuka satu rotinya, dan mulai makan, dengan langkah yang santai.

"Hei. Aku dari tadi ngetuk rumah kamu, dan kamu lago asyik makan roti? Aku bisa saja mendobrak pintu itu. Tapi, kalau kamu tau, pasti akan sangat marah padaku. Ayo.. A..."

Yuki mendongakan kepalanya menatap Aldo, mulut mungilnya sibuk mengunyah roti. Ia ingin sekali menjait mulut Aldo agar tidak banyak bicara.

Aldo menatap Yuki, menatap tepat dimaniknya yang berwarna cokelat.
Pandangan Aldo turun kebawah, menatap Yuki memakai sepatu baru yang tidak rusak, memakai celana panjang, kemeja berwarna cerah tanpa hoodie. Juga mulut mungilnya mengunyah makanan sambil menatapnya, meskipun tatapan itu masihlah dingin. Tetapi jujur saja, saat ini Yuki terlalu manis. Aroma tubuhnya juga begitu wangi.

Tiba-tiba saja, jantung Aldo berdetak hebat.  Tatapannya ia lemparkan ke arah lain.

Ternyata, Yuki bisa juga bertingkah menggemaskan seperti tadi.

"Ayo naik.. Pestanya akan segera dimulai."

Yuki menelan semua roti, dan duduk dibelakang Aldo, membenarkan topinya semakin bawah, karena takut terbang terbawa oleh angin.

Dan kini, aroma tubuh Aldo, menyatu dengan aroma parfum Yuki..

Tbc.

One Month [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang