1. Sanji Kecil

5.2K 530 16
                                    

"Kenapa lagi dengan Sanji!?"

"Kepalanya terus berdarah."
Sang Kakek dengan tergopoh-gopoh menidurkan Sanji kecil diranjang pasien. Sigap, dokter dengan raut wajah yang tidak kalah panik langsung berjalan mendekat.

Sanji kecil menatap dalam ke wajah tegas sang Kakek. Terlihat, paras tegasnya mengendur dan hampir ambruk. Tangannya yang besar dan kasar tak henti-hentinya mengusap rambut berwarna cokelat, menenangkannya sambil tersenyum.

"Tidak apa-apa Sanji..."

"Tahan sebentar ya!?"

Hampir saja, air matanya tumpah sebelum sang Kakek menyuruh untuk menahannya.

Siapa yang tidak merasakan sakit, saat kepala membentur ke sudut meja yang terbuat dari kaca?? Nyeri meliuk-liuk di daerah sekitar tanpa ampun. Membuat wajah Sanji membiru.

"Sepertinya, ini harus di jahit. Mungkin, tiga jahitan cukup."

Sang Kakek langsung memjawabnya.
"Silahkan dokter Manu, jika harus dijahit. Namun, apakah akan sakit!?"

"Saya akan membius. Sanji tidak akan merasakan nyeri sekecilpun."

Dan dengan lemah, sang Kakek menyetujui semua yang bisa membuat Sanji sembuh.

*

Bulan demi bulan, Sanji terus menemani sang Kakek kemanapun pergi. Dan dengan bangganya, Kakek terus memangku atau menggendongnya, membawanya untuk berkeliling melihat sekitar. Bahkan, dengan rajinnya Sanji tidak pernah absen untuk tidak ikut sang Kakek bekerja.
Kadang-kadang, Kakek juga terus mengajak si kecil Sanji berbicara. Saat tahu, Sanji sudah mulai bosan hanya duduk-duduk saja, ketika si Kakek masih sibuk menanam padi.

Dengan gigi kecilnya yang mulai tumbuh, Sanji terus mengemut permen loli, atau beberapa jelly di mulutnya yang kecil, sambil ia merangkak mendekat ke arah si Kakek yang mulai menjauh. Pipi gempal dan kenyalnya terus tersenyum, menampilkan dua lesung pipi yang indah.

Air liurnya terus berjatuhan, membasahi baju Sanji berwarna biru terang, dengan celana kuning cerah. Pakaian yang pas di tubuhnya. Dua hadiah pakaian, dari Kakek di kota.

Dan ketika sore hari, Sanji kecil di pangku di pundak sang Kakek, tangan-tangan mungilnya memegang erat rambut Kakek, seakan ia tidak mau lepas dari atas pundaknya.

Sebelum pulang ke kandang, Sanji diajak menyusuri jalanan, melihat mobil-mobil mewah, mobil truk, mobil yang sangat panjang. Bahkan kereta juga ada. Tak henti-hentinya, Sanji selalu menggerak-gerakan kakinya ketika melihat sesuatu yang aneh ada didepannya. Sebuah kebahagiaan yang begitu sederhana bagi Kakek.

"Nah Sanji, kejarlah masa depan disana. Jadilah Dokter Spesialis Bedah yang hebat kelak. Ikuti apa yang di inginkan Ibundamu, dia pasti sangat bangga..." Kata Kakek sambil terus berjalan.

Tangan mungil Sanji langsung turun meraba hidung Kakek, lalu menekannya kuat. Seolah ia menyetujui apa yang sudah si Kakek katakan, meskipun ia samasekali tidak paham.

Si Kakek tersenyum mendapatkan kehangatan dari tangan lembut itu...

Kakek tidak memperdulikan tatapan sinis semua orang, ketika mereka melihatnya. Kakek sadar yang ia kenakan hanyalah baju lusuh yang penuh lumpur akibat baru pulang dari sawah, juga celana kolor yang sudah kotor. Apalagi, kakinya yang sudah lelah tidak memakai alas.

Yang terpenting, Kakek merasakan semua kebahagiaan si kecil....

Tidak dengan uang, tapi dengan seribu kasih sayang....

"Nah, itu namanya mobil truk. Pengangkut barang yang banyak dan berat."

Tangan Sanji mencengkram rambut Kakek, lalu mulutnya yang kecil bergumam tidak mengerti..

"Apa!? Sanji mau naik diatasnya!?"

"Nah, itu namanya motor."

"Lalu, itu adalah mobil polisi. Kalau Sanji dewasa, jangan pernah naik diatasnya. Bahaya!" Peringatnya.

Kakek terus bercerita semua yang ia tahu kepada cucunya. Bahkan, pengenalan huruf, angka, tulisan singkat, Kakek tanamkan di usia Sanji yang baru tiga tahun.
mengajarinya beberapa pelajaran di waktu senggang.

*

*

Setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun.....

Kalian lihat, si kecil sekarang sudah tumbuh besar...

Berusia tujuh tahun....

Tinggi semampai, rambut cokelat mengkilap tumbuh subur. Lalu, matanya yang bundar dengan pupilnya yang cokelat. Seakan senyum manis, bibir tipis basahnya, memanah setiap orang yang melihatnya...

Sangat tampan....

Namun sayang, sang Kakek tidak bisa menyekolahkan Sanji. Dia benar-benar tidak mempunyai uang untuk membeli keperluannya. Dari jatahnya ia bekerja, hanya cukup untuk makan saja. Apalagi, keadaan Anna terlihat memburuk. Ia benar-benar terus mengurung diri, dan Melda selalu pasti menyalahkan Sanji. Memakinya, bahkan menamparnya beberapa kali. Seakan kiamat, jika Sanji tumbuh lebih besar lagi....

Keperluan Kakek harus ditambah membeli obat seminggu sekali, atau memanggil tukang pintar setiap Anna mengamuk dengan sendirinya.

Kakek benar-benar menyesal. Apalagi, ingatan Sanji selalu kuat, dan otaknya yang selalu hebat mengatasi teka teki atau pertanyaan yang selalu Kakek ajukan. Sanji selalu menjawabnya dengan benar, tidak perlu berpikir lama.

Ketika Kakek mengajarinya membaca, saat Sanji berusia tiga tahun, dalam waktu dua minggu, Sanji sudah bisa menghafal dan merangkai huruf menjadi sebuah kata.
Dan kata pertama yang ia ucapkan adalah....

"Ibu."

Kakek memeluk Sanji kegirangan, diciumnya seluruh wajahnya yang putih bulat, sambil menangis haru...

Kata yang menakjubkan bukan??

*

"Tidak apa-apa. Sanji senang belajar sama Kakek."

"Sekali lagi maafkan Kakek. Kalau Kakek punya uang, dan masih memiliki umur. Kakek berjanji akan menyekolahkanmu setinggi mungkin."

Dengan sedih, Sanji mendekat, menatap sangat dalam kemaniknya yang memiliki beban berat.

"Kakek nggak boleh bilang seperti itu. Sanji yang akan berjanji. Nanti, Sanji akan membahagiakan Kakek. Kakek tidak perlu repot untuk pergi kesawah, dan menjadi kuli panggul lagi. Setelah Sanji dewasa. Kakek duduklah saja."

Kakek mengelus rambut cokelatnya, dan terbatuk-batuk....

Tbc.

One Month [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang