Chapter 22

7.8K 820 19
                                    

"Yuki. Tubuhmu jadi sangat rapuh sekarang. Gimana kamu menjalankan kesaharianmu?"

"Lihat, bahkan kamu banyak kekurangan darah seperti ini. Kondisimu sudah sangat lemah, seharusnya kamu menjaga dirimu sebaik mungkin."

"Kenapa luka-luka terus bertambah? Kondisimu lebih buruk dari apa yang aku pikirkan. Sekarang aku mohon, tinggalah disini, biar aku pribadi yang akan merawatmu. Dan kalau kamu tinggal dirumah sakit, semuanya akan jauh lebih baik. Ini demi kesehatanmu juga."

"Nggak."

"Kenapa nggak? Apa kamu nggak faham yang aku katakan tadi? Gimana jika sesuatu yang sangat buruk terjadi sama kamu? Dan kamu jauh dari pengawasan rumah sakit? Jangan keras kepala!"

"Maaf dokter Hans, saya kesini hanya terpaksa, karena sudah berjanji dengan dokter Manu, dan dengan Kakek saya. Jika bukan karena janji itu, saya nggak perduli."

Pria yang berusia tiga puluh tahun lebih menghela nafas panjang. Ia tidak tahu, rayuan, bujukan apa lagi agar pasien yang istimewa ini mau berbaring dengan patuh di rumah sakit. Sedangkan, tanggung jawabnya kepada pemuda kurus yang menyedihkan ini, begitu tinggi.

"Begini, kamu tau sendiri bahwa penyakit yang bersarang ditubuh kamu adalah penyakit yang serius. Aku bahkan nggak bisa menyembuhkanmu. Ini hanya mencegah biar nggak semakin parah, meskipun nggak bisa disembuhkan. Sebaiknya, beberapa hari saja dirawat."

"Terimakasih, saya harus segera pulang untuk bekerja."
Yuki berdiri, dan membungkuk memberikan rasa sopannya. Lalu berjalan sambil memegang sekantong penuh obat-obatan. Dan membuka kenop pintu.

"Tunggu, Yuki..." Yuki berhenti, dan menoleh kebelakang, menatap dokter yang tanpa lelah selalu membujuknya.

"Dokter Manuel ingin kamu sembuh, dia mempercayakanmu padaku. Nggak apa-apa kamu menolak dirawat. Tapi, selalu chek up seminggu empat kali. Semoga aja, penyakitmu nggak bertambah buruk."

Dokter berbicara sambil berdiri. Menatap langsung ke manik pemuda yang bulat, dan berwarna cokelat redup.

Ia ingat, 4 tahun yang lalu, mata berwarna cokelat itu begitu mengkilap, sangat cocok dengan pemiliknya.
Sekarang, mata cokelat miliknya redup sayu. Terbaca dengan jelas, kesengsaraan, kesakitan menghancurkan mata indah itu perlahan-lahan.

"Meskipun penyakit ini mengambil seluruh tubuhku. Aku rela. Penyakit ini yang setia menemaniku selama bertahun-tahun. Dokter Hans, saya menganggap penyakit ini adalah sahabat terbaik saya."
Yuki membuka pintu. Lalu pergi meninggalkan dokter dengan sejuta perasaan sakit hati didalamnya.

Dokter Hans menatap punggung Yuki dengan hoodie dan topi yang selalu bersamanya. Kata-kata yang diucapkan sampai menembus jantungnya.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena dari dulu, Yuki terlalu sulit untuk bisa dikendalikan.

"Kak Manu, sepertinya, Yuki nggak akan lama lagi untuk bertemu denganmu."
Satu tetes air mata membasahi pipi dokter.

*

*

Yuki berjalan kaki, melewati kemacetan di akhir pekan. Banyak sekali mobil-mobil di dalamnya orang-orang membicarakan tempat rekreasi yang akan mereka tuju. Atau beberapa orang yang sedang berdisuksi tentang pemilihan restouran yang lezat.

Seperti biasa, Yuki membenamkan topinya semakin bawah. Satu tangannya masuk kedalam saku hoodie, tangan yang lain menjinjing kantong obat-obatan.

Yaa....

Harga dari satu obat bisa mencapai satu bulan gajinya. Namun, entah mengapa pihak rumah sakit hanya akan menerima uang Yuki seperempatnya saja dari harga normal.
Yuki juga tidak ingin bertanya, yang terpenting, ia pergi kerumah sakit sesuai janjinya. Setelahnya langsung pulang. Mengabaikan ajakan-ajakan dokter tidak masuk akal menurutnya.

One Month [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang