4. Kakek

3.9K 480 19
                                    

Sanji berumur sepuluh tahun.....

Meskipun ia tidak mengerti tentang kehidupannya, namun ia sungguh bahagia hanya dengan satu orang yang menyayanginya....

Rasa penasaran dan keingintahuan selalu menyelubung masuk kedalam pembuluh darah. Bertanya-tanya, kenapa? Mengapa? Tentang semua yang telah terjadi kepadanya.

Sayang, Kakek tidak pernah menceritakan apapun kepada si kecil, meskipun ia sudah merengek ingin tahu.

Diumur yang masih dibilang sangat muda, Sanji harus bersikap sangat dewasa karena tuntutan takdir. Ia belum pernah bermain dengan teman-teman seusianya. Belum pernah berkenalan dengan orang lain.

Yang Sanji tahu, dari dia bisa mulai mengingat sampai sekarang, temannya hanyalah lumpur dari sawah.
Dan memang itu adalah pekerjaan sekaligus permainan yang menyenangkan baginya.

Sampai, ia harus mendapatkan takdir yang paling menyakitkan seumur hidupnya.

Sanji tahu, semakin hari, ia semakin tinggi dan bertambah berat.

Sanji juga tahu, semakin hari, Kakek semakin keriput, dan semakin lemah.

Lebih baik, Sanji tidak pernah berkembang, daripada harus melihat Kakek yang semakin menua.

Sudah lima hari, Sanji terbaring tidak berdaya, dengan bintik-bintik merah menutupi setiap inchi kulitnya. Setiap hari selalu ada darah yang mengalir keluar dari hidung. Badannya selalu panas tidak beraturan. Bahkan, untuk membuka mata saja, Sanji terlihat tidak kuat.

"Dokter..... Dokter Manuu.... Tolong, ada apa lagi dengan Sanji... Dia tidak sadarkan diri dari semalam..."

Dokter langsung membaringkan tubuh kecilnya, sambil memeriksa detak jantung.

"Aku bahkan tidak membiarkan Anna dan Melda menyentuh Sanji. Tapi... Mengapa dia terus mengeluarkan darah seperti ini?? Ini sudah dua kali dia tidak bisa dibangunkan..."

Dokter Manuel langsung memberikan oksigen ke mulut Sanji.
Nafasnya bahkan sangat sesak. Seakan ia sedang berjuang melawan malaikat maut yang dengan paksa mengambil ruh nya.

"Pak Danu... Maaf, tapi silahkan anda tunggu diluar dulu. Saya akan mencoba memeriksa lebih lanjut lagi."

Kakek dengan seksama terus menatap si kecil yang sulit bernafas, sampai harus dibantu dengan tabung oksigen. Dengan langkah yang sangat enggan, Kakek keluar dari ruangan, dengan jantung yang tak berhenti berdegub kencang.

Sanji memang tidak pernah mengatakan apa-apa perihal kesehatannya. Bahkan, ketika ia mendapatkan luka baru, ia tidak pernah bilang apapun, kecuali si Kakek dengan sadarnya muncul luka baru di tubuhnya. Saat itulah, Sanji akan berani mengatakannya.

Dengan sangat khawatir, kakinya tak henti-henti mondar mandir didepan pintu kamar ruangan. Kakek mencoba setenang yang ia bisa. Namun tetap saja, Dokter Manuel juga terlihat begitu tegang saat menangani Sanji.

Dua puluh menit, Dokter keluar dengan paras yang sulit dijelaskan. Ia mempersilahkan Kakek masuk kedalam, dan Sanji sedang tersenyum kepada Kakek, menyambutnya, duduk di atas ranjang, dengan kaki bermain kedepan kebelakang.

Terlihat jelas, wajahnya yang sangat kelelahan dan pucat. Bahkan, berat badannya sedikit menurun.

"Sanji, Dokter Manu, punya hadiah untuk Sanji."

Si kecil langsung lompat, dan duduk di paha si Kakek, tangannya mengambil satu kotak berwarna hitam itu.

Saat dibuka. Mata bundarnya kembali berbinar dengan terang, bahkan mulutnya menganga lebar.

One Month [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang