7. PULANG

11.9K 605 2
                                    

Aisyah menggelengkan kepala. "Aku masih muda. Tidak usah terburu-buru cari suami, kan?"

"Masih muda? Masih muda apanya?! Ingat! Umur Neng Aisyah sudah 26 tahun!" tukas Sayyidah dengan nada bercanda.

Aisyah terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Ia kelihatan agak sedih setelah mendengar apa yang dikatakan Sayyidah kepadanya. Menurutnya, perkataan Sayyidah ada benarnya juga. Wanita lajang berumur 26 tahun sudah sangat pantas untuk menikah. Tapi hingga sekarang Aisyah belum juga menemukan calon yang pas untuk menjadi suaminya.

Sayyidah yang melihat wajah kakaknya yang muram ia jadi merasa bersalah. Padahal, ia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti hati kakaknya. Suasana seketika menjadi hening. Aisyah terdiam. Sayyidah pun demikian. Tidak ada suara kegembiraan lagi yang terdengar dalam ruang tamu itu. Hanya ada suara angin yang berhembus sepoi-sepoi yang menerobos masuk dari ambang pintu.

"Maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud...." ucap Sayyidah terhenti seolah-olah ia masih merangkai kalimat yang tepat untuk mengobati luka hati kakaknya.

Aisyah kembali melihat Sayyidah dengan sebuah senyuman masam yang sangat terlihat jelas bahwa senyuman itu adalah senyuman yang dipaksakan. Senyuman yang sama sekali tidak enak dipandang mata.

"Aku..."

"Sudahlah!" potong Aisyah.

"Tapi aku..."

"Tidak apa-apa. Lupakan!" potong Aisyah lagi.

Suasana saat itu agak mencekam. Ketidaksengajaan kata yang membuat semua ini semakin ingin berubah menjadi permasalahan yang membabi buta. Walaupun Aisyah sudah tidak mempermasalahkan hal ini, tapi tetap saja masih ada perasaan bersalah yang menggeliat di hati Sayyidah.

Tak berapa lama mereka terjebak dalam keheningan, terdengar suara salam dari depan teras rumah. Sayyidah langsung saja bergegas melihat siapakah gerangan yang mengucap salam itu. Suara salam itu benar-benar tidak asing lagi di telinga Sayyidah.

Rupanya benar sekali dugaan Sayyidah. Ternyata yang mengucap salam barusan adalah kedua orang tuanya. Sayyidah sangat senang sekali melihat orang yang paling ia cintai di dunia ini. Ia benar-benar ingin melepaskan kerinduannya yang sangat mendalam itu. Langsung saja ia berlari dan langsung memeluk kedua orang tuanya.

"Ummi, Aba, aku kangen!" ujar Sayyidah.

"Ummi juga kangen sama kamu," ucap ibu Sayyidah sambil membalas pelukan Sayyidah dengan pelukan erat.

"Aba juga!" kata Kiai Huda, ayah Sayyidah yang juga membalas pelukan Sayyidah dengan begitu erat.

Setelah puas melepas kerinduan, mereka melanjutkan perbincangan di dalam ruang tamu. Aisyah sudah tahu apa yang akan dikatakan kedua orang tuanya. Sebelum orang tuanya menyuruh, ia terlebih dahulu sudah melangkah menuju dapur untuk mengambil minuman segar untuk Sayyidah.

Di dapur, Aisyah mengambil bongkahan es batu dari dalam kulkas. Ia juga mengeluarkan beberapa jeruk nipis segar. Lalu ia potong jeruk nipis tersebut menjadi dua bagian. Setelah itu, ia memeras jeruk nipis itu ke dalam sebuah ceret, menambahkan gula, es batu dan air. Lalu mengaduk semuanya itu dengan lembut.

Setelah gula terlarut dalam air, ia menyiapkan nampan dan tiga buah gelas kecil yang ia ia taruh di atas nampan tersebut. Lalu ia letakkan ceret yang berisi minuman segar tersebut di atas nampan juga. Aisyah memang sudah memahami apa yang disukai, apa yang tidak disukai oleh seluruh anggota keluarganya. Misalnya saja minuman tadi. Ayahnya, ibunya bahkan Sayyidah pun menyukai es jeruk nipis alami seperti yang ia buat barusan.

Aisyah pun segera melangkahkan kaki menuju ke ruang tamu di mana Sayyidah dan kedua orang tuanya berbincang-bincang melepas rindu. Di ruang tamu, Aisyah dengan hati-hati meletakkan nampan tersebut di atas meja. Lalu ia ikut berbincang dengan yang lain.

"Jadi intinya, kamu ingin tinggal di Pondok Pesantren ini?" tanya Kiai Huda.

"Iya," Sayyidah mengangguk.

"Memangnya ada apa dengan Surabaya?"

"Aba, Surabaya akan baik-baik saja tanpa aku," jawab Sayyidah begitu santai.

Aisyah, Kiai Huda, Bu Nyai Salamah, tertegun dengan jawaban Sayyidah. Mereka benar-benar tahu bahwa Sayyidah sangat menyayangi pekerjaannya sebagai fotografer. Tidak masuk akal bagi mereka jika Sayyidah berhenti begitu saja dari pekerjaan dan memutuskan untuk tinggal di Pondok.

"Kamu bercanda?" tanya Kiai Huda pada putri bungsunya itu.

Sayyidah hanya menggeleng.

"Kamu tidak dipecat, kan?" tanya Kiai Huda lagi.

Sayyidah agak gugup dan salah tingkah sekaligus bingung mau menjawab apa atas pertanyaan ayahnya itu. Dia hanya diam sambil menundukkan kepalanya dan menatap lantai yang dipijakinya lalu menggaruk-garuk kepala.

"Sayyidah, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan Aba?" tambah Aisyah.

"Emm....." Sayyidah masih bimbang.

Aisyah dan kedua orang tuanya masih tetap menunggu Sayyidah angkat bicara. Sejenak suasana menjadi sunyi di ruang tamu itu. Hanya ada suara keramaian dari luar ruangan karena ada beberapa santri putra yang mengikuti ekstrakurikuler basket di lapangan sekolah yang jaraknya tidak jauh dari kediaman Kiai Huda.

"A aku... tidak dipecat kok!" elak Sayyidah dengan tangan yang sedikit gemetaran.

Aisyah merasa agak janggal dengan tingkah laku Sayyidah yang terlihat gugup. Bahkan dahi Sayyidah pun berkeringat hingga membasahi kerudung merah muda yang membalut dan menutupi semua rambutnya.

"Sepertinya ada yang disembunyikan Sayyidah," gumam Aisyah dalam hati kecilnya sambil menatap Sayyidah dengan pandangan penuh selidik.

-----00-----
Ayo vote dan komen untuk penyemangat author
Kamis, 17 Januari 2019


Kerlingan Sayyidah AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang