23. REHABILITASI

7.1K 291 3
                                    

Tak semua dosa itu ibarat noda yang permanen

Teriakan Elin terdengar lagi. Ia kembali meronta-ronta meminta diberi narkoba. Kali ini ia membanting barang-barang yang dilihatnya. Ia mengamuk seperti singa yang belum mendapatkan makanannya. Tidak ada santriwati Pondok Pesantren yang berani mendekatinya karena takut terkena amukan Elin yang melempar barang-barang dalam kamarnya.

Aisyah datang dan memasuki ruangan itu. Ia tidak terkejut lagi dengan apa yang ia lihat. Ruangan yang porak poranda memang sudah biasa jika dihuni oleh seseorang yang dalam masa rehabilitasi. Di dalam ruangan itu juga ada Madinah di balik lemari yang mencoba bersembunyi dari Elin yang terlalap nafsu syaitan yang tak kunjung menghilang dan tak kunjung mengembalikan akal sehat Elin.

"Elin! Berhentilah! Sudah cukup!" bentak Aisyah yang hanya berdiri di samping tempat tidur Madinah.

Elin menoleh ke arah Aisyah. Ia menatap Aisyah dengan mata iblisnya. Ia perlahan mendekati Aisyah. Lalu tiba-tiba ia mencekik Aisyah dengan sekuat tenaganya hingga membuat Aisyah tak bisa bernapas seperti biasanya. Mendapati hal itu, beberapa santriwati yang berada di ambang pintu langsung saja membantu Aisyah untuk melepaskan cekikan tangan Elin.

"Lepaskan Neng Aisyah!" ujar santriwati-santriwati itu.

Elin tetap tidak mau melepaskan cekikannya. Ia malah mencekik Aisyah dengan cekikan yang semakin lama semakin kuat hingga membuat Aisyah hampir kehilangan kesadaran. Mendapati hal itu, Madinah keluar dari persembunyiannya dan ikut membantu teman-temannya untuk menolong Aisyah dari cekikan Elin.

Tak berapa lama kemudian, Elin pun bisa dikendalikan dengan menggunakan tenaga ekstra. Para santriwati berhasil mengikat kedua tangan Elin agar tidak bisa berkutik. Karena jika Elin bisa berkutik maka akan membahayakan orang-orang di sekelilingnya.

"Berikan aku sabu! Cepat!" teriak Elin dengan mata yang terus melotot.

"Sadarlah! Dan kembalilah ke jalan Allah!" ujar Aisyah.

"Allah? Siapa Allah? Apa dia bisa memberiku sabu?" Tanya Elin yang masih dalam pengaruh bisikan-bisikan syaitan.

"Allah adalah Tuhanmu! Tuhan kita!" jawab Aisyah dengan menitikkan beberapa tetes air mata. "Kau boleh melupakan kita semua! Tapi jangan lupakan Allah!"

Elin sama sekali tidak mempedulikan ucapan Aisyah. Ia kembali meronta-ronta meminta sabu. Para santriwati terpaksa mengikat kedua kakinya juga agar tidak berlari keluar kamar dan membuat takut para santri-santri yang masih di bawah umur.

-----00-----

Setelah Elin tenang dan tertidur, Aisyah pulang ke kediamannya. Di depan teras sudah ada Kiai Huda yang menunggu kedatangannya dengan senyum lebar yang indah. Aisyah tertegun melihat hal itu. Rasanya jarang sekali Ayahnya tersenyum seperti itu kepadanya.

"Aisyah! Aba punya kabar baik buat kamu!" ujar Kiai Huda pada putri sulungnya yang masih berjalan menghampirinya.

"Kabar apa, Ba?" Tanya Aisyah lembut.

"Kita duduk dulu!"

Mereka pun duduk santai di kursi depan teras. Kursi rotan tua yang Suasana ayah dan anak mulai terasa hangat dengan sedikit bumbu hembusan angin yang menerpa kerudung Aisyah dengan lembut.

"Pamanmu membutuhkan seorang manager untuk restorannya. Dia bilang, dia butuh seseorang yang dapat dipercaya untuk mengelola restorannya," kata Kiai Huda.

"Maksud Paman Sholeh...." Aisyah terhenti.

"Iya! Kamu!"

"Restoran Paman Sholeh yang mana, Ba?"

"Yang ada di Kairo."

"Kairo? Jauh sekali, Ba!" mata Aisyah membulat lebar.

Kiai Huda terdiam sejenak. Ia memainkan jarinya di atas meja yang berada di hadapannya. Raut muka yang tadinya penuh dengan senyum semangat tiba-tiba kini menjadi sedikit muram.

"Aba, kenapa Aba sedih?" Tanya Aisyah cemas melihat ayahnya yang muram.

"Aba sudah tua. Kelak harus ada yang meneruskan Pondok Pesantren As-Syams ini."

"Aba bicara apa?" Aisyah masih tidak begitu mengerti apa yang dikatakan ayahnya.

"Kalau kamu pergi ke Kairo, kamu juga bisa sekalian belajar di Universitas Al-Azhar."

Aisyah tertegun. Kali ini mulutnya terkunci hingga tidak bisa berkata apapun. Ia sangat mencintai keluarganya. Tapi bagaimana mungkin ia dengan begitu saja pergi dari semua orang yang dicintainya? Aisyah masih perlu berpikir dua kali untuk memutuskan hal itu dengan matang.

"Jika kamu tinggal di Kairo, kamu bisa semakin fasih berbahasa Arab!" bujuk Kiai Huda berharap Aisyah menerima tawarannya.

"Tapi bagaimana dengan Aba dan Ummi?"

Tiba-tiba Bu Nyai Salamah keluar dari rumah dan ikut duduk bersama Kiai Huda dan Aisyah di depan teras. Lalu ia menepuk pelan Bahu Aisyah beberapa kali sambil mengangguk-angguk dengan muka sedih.

"Ummi jangan sedih!" kata Aisyah sambilmemegang tangan Ibunya.    

😎😎😎😎😎😎😎
Vote dan komen untuk penyemangat author ya
Selasa 5 Februari 2019

😎😎😎😎😎😎😎Vote dan komen untuk penyemangat author yaSelasa 5 Februari 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kerlingan Sayyidah AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang