Tepat jam enam pagi Sayyidah sudah berdandan untuk melamar pekerjaan. Dengan baju lengan panjang berwarna hijau muda dan jilbab hijau tua yang ia pakai, ia terlihat sangat cantik. Lalu ia menghadap ke arah sebuah cermin yang berukuran setinggi tubuhnya. Dipolesnya kedua pipi bersih itu dengan polesan bedak tipis. Ia juga mengoleskan lipgloss ke bibirnya yang mungil secara merata.
"Kau memang cantik!" ucap Sayyidah pada dirinya yang terpantul di cermin.
Kemudian ia mengambil ijazah Aisyah di lemarinya. Beberapa saat ia pandangi ijazah itu dengan seksama. Tangannya sedikit gemetaran. Di benaknya masih terselip perasaan bersalah terhadap apa yang akan ia lakukan pada ijazah itu.
"Aku harus melakukan ini! Kalau tidak, aku akan hidup kebosanan di dalam Pesantren." Gumam satu sisi hati Sayyidah.
"Hanya karena rasa bosan saja, aku tega mencuri ijazah Neng Aisyah? Apa yang sudah kulakukan?Kenapa aku begitu keji?"
Sisi-sisi hati Sayyidah terus berdebat. Membuat Sayyidah bimbang harus melakukan apa. Sayyidah masih terus berpikir keras untuk melakukan hal apakah yang akan ia pilih.
"Kalau aku kembali ke Pesantren, aku pasti akan merasa bosan. Seperti burung tanpa sayap."
Sayyidah tak henti-hentinya memandangi ijazah Aisyah yang ia pegang dengan penuh kebimbangan. Sesekali ia mengelus kertas ijazah yang bertuliskan angka-angka tinggi itu.
"Dengan ijazah ini, aku bisa melamar kerja sebagai pegawai bank atau bisa juga sebagai sekretaris keuangan." Pikir Sayyidah.
Sayyidah masih memandangi kertas berharga itu. Kebimbangan masih juga tak mau pudar dan terus menjamah hati Sayyidah.
"Tapi aku bukan lulusan fakultas ekonomi! Bagaimana bisa aku bekerja di sektor keuangan?" Gema salah satu sisi hati Sayyidah.
Tidak ada suara sedikitpun di ruangan sempit itu. Hanya ada pertikaian dua sisi hati Sayyidah yang berpikiran kontras, yang membuat Sayyidah ragu dalam mengambil keputusan untuk langkah selanjutnya.
"Tidak apa-apa! Apa susahnya menghitung uang?Bahkan anak kecilpun bisa!"
Gema suara hati Sayyidah barusan memantapkan keputusan Sayyidah. Kemudian, Sayyidah pun memasukkan kertas-kertas berharga itu di dalam tasnya yang berwarna hijau toska. Tak lupa juga ia masukkan beberapa surat lamaran pekerjaan. Dan segeralah ia beranjak pergi untuk mencari pekerjaan.
------00------
Sebuah angkot berwarna biru tampak berhenti tak jauh dari area perkantoran elite. Terlihat juga Sayyidah keluar dari angkot tersebut. Dan segeralah ia melangkahkan kaki menuju ke salah satu gedung tinggi yang berjajar di area itu. Sebelum membuka pintu masuk gedung itu, ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Beberapa kali ia melakukan hal yang sama hingga akhirnya ia merasa mantap dan percaya diri untuk masuk ke dalam ruangan ber-AC itu. Ketika ia masuk ke dalam ruangan, ia langsung saja bertanya kepada seorang wanita yang lalulalang hendak pergi ke luar gedung dengan buru-buru.
"Maaf, saya mau tanya. Kira-kira di mana ruang wawancara?" Tanya Sayyidah pada wanita itu.
Wanita itu pun menghentikan langkahnya. "Di lantai dua. Bersiap-siaplah!" jawabnya.
"Terima kasih!"
Pegawai wanita itu pun hanya mengangguk pelan membalas ucapan terima kasih Sayyidah. Lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sayyidah merasa keheranan mendapati perilaku wanita yang tampak aneh di matanya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Sayyidah pun kembali melanjutkan perjalanannya. Ia masuk ke dalam lift. Kemudian ia pencet tombol bertuliskan angka dua yang terpampang di dinding lift. Dan menutuplah pintu lift itu dengan perlahan tapi pasti. Segeralah lift itu bergerak ke atas menuju ke lantai dua.
Tak lama kemudian, lift itu berhenti dan pintunya membuka secara otomatis. Sayyidah keluar dari lift itu dengan hati berdebar-debar saat terbayang di benaknya akan menjalani wawancara yang menakutkan. Kemudian Ia pun berjalan menuju tempat yang ia tuju.
"Bagaimana kalau aku tidak bisa menjawab pertanyaan wawancara? Aku takut!"
Tanpa waktu yang lama, langkah Sayyidah terhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup. Ruangan yang dimaksud oleh pegawai wanita yang ditanyai Sayyidah tadi.
"Bismillah," ucap Sayyidah saat membuka pintu.
Di lihatnya dua orang lelaki separuh baya yang duduk di dalam ruangan. Dua orang lelaki separuh baya itu memiliki tampang yang terlihat ramah. Akan tetapi Sayyidah masih ragu untuk masuk ke dalam ruangan luas itu.
"Masuklah!" ujar salah seorang lelaki separuh baya pada Sayyidah yang masih terhenti di depan pintu masuk.
Sayyidah pun masuk ke dalam. "Permisi."
"Silahkan duduk!" ujar salah seorang lelaki separuh baya yang lain.
Sayyidah pun menuruti perintah lelaki itu. Ia duduk di atas salah satu kursi di dalam ruangan yang tampak sepi itu. Ia sedikit gugup walaupun dua lelaki paruh baya itu tampak halus dan ramah. Kemudian, ia keluarkan beberapa kertas yang biasa diperlukan dalam melamar pekerjaan dalam tasnya. Lalu ia berikan kertas-kertas itu kepada dua orang lelaki yang berada di hadapannya yang terhalang oleh meja.
Sebenarnya, Sayyidah curiga. Biasanya, saat wawancara di perusahaan besar, wawancara dilakukan secara berkelompok, misalnya langsung lima sampai delapan orang sekaligus saat di wawancara. Tapi sekarang, Sayyidah sendirian bersama dua lelaki paruh baya.
😊😊😊😊😊😊😊😊
Vote dan komen buat penyemangat author ya
25 Januari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerlingan Sayyidah Aisyah
Storie d'amore"Aku bahkan tidak bisa membedakan. Dia itu bidadari atau manusia?" Ini bukan hanya tentang Sayyidah, tapi juga tentang Aisyah. Mereka adalah bidadari dunia yang jatuh cinta pada pria yang sama. "Kamu itu bidadari bukan?" Wanita berhidung mancung i...