35. MENGENAL AISYAH LEBIH JAUH

6.1K 306 5
                                    

Aisyah tersenyum lagi di balik cadarnya. Ia tidak menyangka ucapannya dapat memberi pengaruh positif bagi pria tinggi semampai yang sekarang bicara dengannya.

Di tengah perbincangan, seorang pria berbaju rapi menghampiri Reyfan. Pria itu adalah Salim, salah seorang sekretaris Reyfan. "Maaf,"

Reyfan dan Aisyah beralih pandang dan melihat Salim.

"Pak Reyfan, sebentar lagi ada rapat. Mohon Pak Reyfan kembali ke kantor," ucap Salim.

"Iya," jawab Reyfan santai. "Tapi.... aku masih mau bicara dengan wanita ini. Kau tinggal saja dulu!"

Salim mengangguk. Lalu ia mengangkat kepalanya sambil memperhatikan wanita bercadar yang kini tengah asyik berbincang dengan atasannya itu. Ia merasa pernah mengenal Aisyah. Tapi ia tidak yakin karena wanita itu bercadar.

"Kau sedang lihat apa?" tanya Reyfan sinis.

Salim tidak menghiraukan pertanyaan Reyfan. Ia terus memperhatikan Aisyah dengan seksama. "Neng Aisyah?" tebaknya.

Aisyah terkejut. Matanya agak sedikit membulat ketika Salim menyebut namanya.

"Anda Neng Aisyah, kan?" tanya Salim memastikan.

Aisyah mengangguk. "Bagaimana anda tahu nama saya?"

Reyfan sedikit bingung. "Kau mengenal wanita ini?" tanyanya pada Salim.

"Bagaimana saya tidak kenal?! Dia adalah putri Kiai Huda pemilik pondok pesantren As-Syams!"

"Aku tidak pernah mendengar pondok pesantren yang bernama As-Syams."

"Pondok pesantren itu memang tidak terlalu terkenal! Letaknya pun di desa terpencil! Tapi di sana, saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang agama," jelas Salim.

"Jadi, kamu pernah belajar di pesantren As-Syams?" tanya Aisyah sambil menatap Salim.

Salim hanya mengangguk.

"Ya Allah! Betapa sempitnya dunia ini!"

-------00--------

Dalam ruangan kantornya, Reyfan tengah memikirkan Aisyah. Diam sendirian sambil sesekali tersenyum. Dalam benaknya, hanya teringat kerlingan mata Aisyah yang begitu indah bagaikan bintang di malam hari. Terpancar nyata menghiasi langit yang gelap gulita.

"Kenapa aku terus memikirkan wanita itu? Dan kenapa tatapannya terus saja membelenggu hatiku? Dan kenapa aku ingin melihat mata indah itu lagi?" beberapa pertanyaan pun terlintas di benak Reyfan. Tapi tak satu jawaban logis pun yang datang menjawab.

"Apa wanita itu yang diturunkan oleh Allah untuk membimbingku ke jalan yang benar? Apa wanita itu mau membimbingku?" pertanyaan demi pertanyaan pun terus menerus bertambah di hati Reyfan. Dan tetap tidak ada jawaban pasti yang bisa membumi hanguskan pertanyaan-pertanyaan itu.

Tok-Tok-Tok. Bunyi seseorang yang mengetuk pintu dari luar. Ketukan pintu itu membuyarkan lamunan Reyfan tentang Aisyah. "Masuk!" suruhnya.

Tak lama kemudian, Salim yang memasuki ruangan itu lalu menghampiri Reyfan dengan membawa sejumlah berkas-berkas yang ada di tangannya.

"Ada apa?" tanya Reyfan.

"Ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani, Pak," jawab Salim sambil menyodorkan berkas-bekas yang dibawanya.

Reyfan menerima berkas itu. Lalu ia membacanya. Dan kemudian ia menandatangi berkas-berkas itu dengan cepat. "Ini!" Reyfan mengembalikan berkas-berkas itu pada Salim.

Salim menerimanya. Kemudian ia pamit pergi. Namun, ketika ia hendak membuka pintu, Reyfan memanggilnya kembali. Ia pun kembali menghampiri Reyfan lagi dengan agak cemas karena ia takut Reyfan akan marah untuk sesuatu yang kadang kurang jelas penyebabnya. Kebiasaan Reyfan memang suka marah-marah semenjak calon isterinya meninggal dunia.

"Ada apa, Pak?" tanya Salim gugup.

"Wanita yang bercadar tadi...." Reyfan terhenti. "Apa benar namanya Aisyah?"

Salim mengangguk pelan. "Benar."

Suasana saat itu sedikit sepi. Hanya ada perbincangan antara Reyfan dan Salim saja.

"Aku ingin belajar di pondok pesantren As-Syams," ucap Reyfan tiba-tiba.

Mata Salim pun melebar. Ia masih tak percaya ketika ia mendengar apa yang dikatakan Reyfan.

"Kenapa kau diam?" kata Reyfan santai.

"Bapak yakin?"

Reyfan mengangguk santai.

-------00------

Sekitar jam tujuh pagi Salim sudah berada di depan pintu rumah Kiai Huda. Tak segan-segan, ia ketuk pintu kayu usang yang ada di hadapannya sambil mengucapkan salam beberapa kali.

"Wa'alaikum salam!" jawab Kiai Huda sambil membuka pintu.

Ketikan Salim melihat Kiai Huda, ia pun langsung mencium tangan Kiai Huda. Setelah itu, Kiai Huda mempersilahkan Salim untuk masuk ke ruang tamu dan duduk.

"Apa kabarmu, Lim?" tanya Kiai Huda dengan suaranya yang agak serak.

"Alhamdulillah baik. Pak Kiai sendiri?"

"Alhamdulillah."

"Ada apa, Lim? Kok tumben kemari?"

"Kedatangan saya kemari untuk bersilaturrahim dengan Pak Kiai dan keluarga," ungkap Salim.

Kiai Huda hanya mengangguk pelan.

"Dan saya kemari kesini juga untuk mendaftarkan seseorang untuk menuntut ilmu disini," lanjutnya.

"Ooohh.."

Tak berapa lama kemudian Aisyah datang sambil membawa dua gelas teh di atas nampan. Lalu ia letakkan satu gelas teh tersebut di atas meja di hadapan Salim dan satu gelas yang lain di hadapan ayahnya.

"Apa kabar, Neng?!" sapa Salim.

"Baik," sahut Aisyah lalu ikut duduk di samping ayahnya. "Kamu sendiri?"

"Alhamdulillah, baik."

"Oh iya! Maaf sebelumnya jika aku agak sedikit lancang." Aisyah terdiam sejenak. "A aku mau tanya tentang sesuatu."

Salim tersenyum. "Tanya apa, Neng? Silahkan!"

"Pria yang bersamamu kemarin itu....." gumam Aisyah masih ragu. "Apa dia pemilik Pt. Mulia Agung?"

Kiai Huda tertegun ketika beliau mendengar kata 'Pt. Mulia Agung'. Matanya terbelalak lebar sambil mengerutkan keningnya.

"Iya" Salim mengangguk. "Memangnya ada apa?"

"Sebenarnya...." Aisyah masih ragu.

"Sebenarnya Sayyidah terjerat masalah hukum dengan Pt. Mulia Agung," ucap Kiai Huda tanpa basa basi.

"Apa?! Neng Sayyidah terjerat masalah hukum? Bagaimana mungkin?"

Raut muka Aisyah memuram. "Ceritanya panjang. Lim."

"Kebetulan sekali! Orang yang akan menuntut ilmu di sini adalah pemilik Pt. Mulia Agung!" ujar Salim dengan seriusnya.

Aisyah dan Kiai Huda saling menatap satu sama lain. Mereka sangat terkejut. Mungkin, ini semua adalah sebuah karunia yang telah di berikan Allah. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk menyelesaikan semua masalah yang ada.

"Lalu, siapa nama orang itu? Apakah orang itu bernama Reyfan? Dan kapan orang itu akan kemari?" beberapa pertanyaan pun terlontar dari balik cadar Aisyah.

"Iya. Namanya Reyfan. Mungkin, beberapa hari lagi beliau akan segera kemari," jawab Salim.

Aisyah berpaling dari Salim. Lalu ia menatap ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Semoga ada jalan, Ba."

"Amin. InsyaAllah!" jawab Kiai Huda sambil mengelus punggung putri sulungnya.

------00------
😎😎😎😎😎
Vote dan komen yuk
Selasa, 19 Februari 2019

Kerlingan Sayyidah AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang