42. KECANTIKAN BIDADARI

5.8K 270 9
                                    

Hati kadang egois, memaksa akal untuk sejalan dengannya

Sinar matahari saat itu masih belum terlalu panas. Mungkin bisa dikatakan sinar mentari masih bersahabat dengaan manusia dengan kehangatannya. Dan seperti biasanya, Aisyah masih berkutat di dalam dapur untuk menyiapkan makan siang.

"Neng Aisyah, di mana pancinya?" tanya Sayyidah yang tiba-tiba datang.

"Tumben tanya panci?" tanya Aisyah sambil tersenyum kecil.

"Jangan tersenyum seperti itu! Itu membuat neng Aisyah terlihat begitu cantik!" tegur Sayyidah sambil memandangi wajah kakaknya yang terlihat sangat cantik seperti bidadari saat tersenyum tanpa ditutupi oleh cadar.

"Pancinya ada di sebelah kanan rak piring," ucap Aisyah sambil menunjuk rak piring yang berdiri di pojok ruangan.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Sayyidah bergegas mengambil panci yang tergantung di sebelah kanan rak piring yang ditunjukkan oleh kakaknya. Lalu ia segera membuat teh hangat yang ia tuangkan ke dalam dua buah gelas berwarna putih bening.

"Memangnya ada tamu?" tanya Aisyah.

Sayyidah hanya mengangguk.

"Siapa?" tanya Aisyah lagi.

"Pak Reyfan," jawab Sayyidah singkat.

"Ooooohh..."

Saat Aisyah dan Sayyidah tengah berbincang-bincang, tiba-tiba Reyfan dan Kiai Huda datang memasuki ruang dapur. Saat itu, Reyfan sangat terkejut melihat wajah cantik Aisyah yang kali ini tampil tanpa cadar. Mata Reyfan membulat. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup sangat kencang. Dia seakan-akan tidak bisa mengendalikan dirinya.

"Di sana kamar mandinya!" ucap Kiai Huda sambil menunjuk sebuah pintu usang bercat hijau muda.

Pandangan Reyfan memudar walaupun pada kenyataannya kecantikan Aisyah membuatnya mengeluarkan banyak keringat dingin di dahinya. "Iya, Pak Kiai," sahutnya sambil berjalan memasuki pintu kamar mandi.

Setelah Reyfan masuk ke dalam kamar mandi, Kiai Huda menyuruh Aisyah segera memakai cadar. Semua itu Kiai Huda lakukan agar kecantikan putri sulungnya tidak mengundang syahwat bagi setiap lelaki yang memandang.

-----00-----

Setelah keluar dari toilet, Reyfan tidak melihat siapapun. Lalu ia pun berjalan menuju ruang tamu. Di sana ada Kiai Huda yang sedang duduk santai sambil membaca kitab kuning.

Reyfan masih berdiri. Sedangkan Kiai Huda menyuruhnya untuk duduk. Lalu ia pun duduk sesuai dengan perintah Kiai Huda. Dalam hati Reyfan, masih ada beberapa pertanyaan yang berkecamuk mengenai sosok bidadari yang berada di dapur yang ia lihat tadi.

"Maaf Pak Kiai, bolehkah saya tanya satu hal?" tanya Reyfan.

Kiai Huda meletakkan kitab kuningnya di atas meja. "Boleh. Memangnya Nak Reyfan mau tanya apa?" jawab Kiai Huda dengan tatapan tajam yang tersembunyi di balik kaca matanya.

"Emm....." Reyfan masih ragu.

"Jangan ragu! Silahkan menanyakan apa pun!"

"Wanita yang mengenakan jilbab biru tua tadi......" Reyfan masih ragu. Katanya terhenti.

"Kenapa? Kenapa dengan wanita yang berjilbab itu?"

"Apakah dia Aisyah?"

Kiai Huda hanya mengangguk. "Sudahlah! Tidak perlu membahasnya lagi. Bukankah Nak Reyfan kemari untuk membahas tentang pembangunan Pondok Pesantren ini?" katanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

-----00-----

Sepulang dari rumah Kiai Huda, Reyfan kembali ke asrama putra. Ia berjalan menuju kamarnya dengan pandangan kosong. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.

"Salim!" kata Reyfan saat memasuki kamar.

"Ada apa, Pak?" tanya Salim yang dengan sigap langsung berdiri di samping Reyfan.

"Ada apa denganku, Salim?"

Salim masih tak mengerti apa yang dikatakan oleh Reyfan.

Reyfan pun duduk di atas ranjang sambil memegang dadanya. Ia merasakan sesuatu yang aneh tengah menderu jantungnya. Sesuatu yang sama saat ia pertama kali jatuh cinta pada Aish, calon istrinya dulu.

"Memangnya ada apa, Pak? Bapak sakit?" Salim bertanya-tanya.

Reyfan menggeleng. "Ambilkan aku air putih! Cepat!" bentaknya pada Salim.

Dengan sigap, Salim pun membawakan segelas air putih yang berada di atas meja. Lalu ia segera memberikannya pada Reyfan yang tiba-tiba bertingkah aneh, tidak seperti biasanya. Tanpa basa-basi, Reyfan pun meneguk segelas air putih itu dengan cepat tanpa bernapas. Salim hanya bisa melongok keheranan melihat hal itu tanpa berkomentar sedikit pun.

"Apa kau pernah melihat wajah Aisyah sebelumnya?" tanya Reyfan tiba-tiba.

Salim mengangguk. "Iya. Tapi dulu, saat Neng Aisyah masih belum mengenakan cadar," jawabnya santai.

"Bukankah dia seperti bidadari?"

Salim mengangguk santai. Ia masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Reyfan barusan.

"Cantik sekali. Dia bahkan lebih cantik dari pada Aish!"

Mata Salim membulat. "Tapi, dari mana anda tahu bahwa Neng Aisyah itu bidadari? Em, maksud saya, dari mana anda tahu kalau Neng Aisyah itu sangat cantik?"

Reyfan menoleh ke arah Salim lalu tersenyum. "Entahlah. Aku tidak tahu. Mungkin yang barusan kulihat hanya mimpi."

-----00-----
😎😎😎😎😎
Kamis, 28 Februari 2019

-----00-----😎😎😎😎😎Kamis, 28 Februari 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kerlingan Sayyidah AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang