56. KECEWA

5.5K 274 13
                                    

Tak butuh waktu lama bagi Reyfan untuk menemukan tempat tinggal Aisyah. Ia mempunyai banyak koneksi. Baginya, semua hal bisa diselesaikan dengan uang dan relasi. Apa pun mudah ia lakukan apalagi hanya mencari sebuah alamat.

Sore itu, Reyfan berdiri mematung di tepi jalan. Setelah ia menempuh jarak yang begitu jauh, ia melihat pemandangan yang tidak ingin ia lihat. Ia melihat wanita bercadar di depan teras rumah kotrakan sederhana bersama seorang pria. Ya, dari kejauhan paras wanita bercadar itu sangat mirip dengan wanita yang ia cinta, Aisyah. Wanita bercadar itu memang Aisyah. Hati Reyfan pecah ketika melihat perut Aisyah yang membesar dan tengah dielus-elus oleh pria lain. Aisyah hamil tua dan ia tampak bahagia bersama suaminya, Muhammad.

Reyfan berjalan menuju rumah kontrakan itu. Tak lama lalu ia sampai. "Assalamu'alaikum," sapanya.

Aisyah dan Muhammad menoleh ke sumber suara. "Wa'alaikum salam," jawab mereka berdua bebarengan dengan mata membulat lebar.

"Maaf, anda siapa ya? Dan ada perlu apa?" tanya Muhammad.

"Oh iya, Mas. Perkenalkan, ini Pak Reyfan. Dia donatur terbesar pondok pesantren As-Syams." Aisyah yang menjawab. Dia tampak agak sedikit canggung walau ekspresinya tersembunyi di balik cadar.

Perih. Tapi Reyfan menahannya.

"Oh jadi ini yang namanya Pak Reyfan," kata Muhammad sambil mengulurkan tangan. "Perkenalkan, nama saya Muhammad."

Reyfan melihat tangan Muhammad sebentar lalu menjabatnya enggan.

"Mari, silahkan masuk," tambah Muhammad.

Muhammad dan Reyfan pun masuk ke ruang tamu lalu duduk bersama dalam satu meja sementara Aisyah bergegas ke dapur membuat teh dan menyiapkan beberapa camilan untuk disuguhkan ke Reyfan.

"Ngomong-ngomong, Bapak kemari ada perlu apa?" tanya Muhammad dengan gayanya yang sopan santun.

Reyfan tak menjawab. Ia tak mendengar apa yang dikatakan Muhammad. Matanya menyisir ruangan. Yang ia lihat saat itu adalah pigura-pigura yang memajang foto-foto pernikahan Aisyah, baik saat akad nikah maupun resepsi. Dalam foto-foto itu, Aisyah terlihat sangat bahagia. Semua orang yang hadir juga demikian. Kiai Huda, Sayyidah bahkan Madinah. Semua orang bahagia dalam acara itu.

"Ehem," tegur Muhammad.

Reyfan kembali fokus. "Maaf, anda tadi bicara apa?"

"Kedatangan Bapak kemari ada perlu apa?" ulang Muhammad.

Reyfan kembali melihat foto-foto yang terpajang di sekeliling tembok. Sakit memang. Tapi Reyfan mengurungkan niatnya untuk melabrak suami Aisyah, yaitu Muhammad. "Emmm..... saya kesini hanya ingin mampir."

"Mampir? Tapi bagaimana anda bisa tahu alamat ru...."

"Apa tidak boleh saya mampir?" potong Reyfan.

"Bukan. Bukan itu maksud saya. Maksud saya..."

"Aisyah adalah orang yang telah mengenalkan saya pada agama. Saya hanya ingin tahu kabarnya. Hanya itu." Reyfan menahan tangis dengan tangan mengepal. Matanya berkaca-kaca.

Ya, sekeras apa pun watak Reyfan, tapi dia juga manusia. Dia punya hati. Dan dia seorang pecinta. Hati pecinta manakah yang tidak hancur bila orang yang dicinta sudah dimiliki pecinta lain?

"Aisyah?" spontan Muhammad mengerti bahwa lelaki berkemeja biru yang ada dihadapannya juga mencintai istrinya Aisyah. "Alhamdulillah Aisyah baik."

Tak lama kemudian, Aisyah datang sambil membawa dua cangkir teh dan sepiring kue kering di atas nampan plastik. Pandangan Reyfan mengikuti gerak-gerik Aisyah. Tak luput sedikit pun. Muhammad yang takut terjadi hal yang tak diinginkan pun mencoba mengalihkan perhatian Reyfan.

"Oh iya, ngomong-ngomong, Pak Reyfan sekarang sehat?" tanya Muhammad.

"Alhamdulillah," jawab Reyfan dengan mata yang masih tertuju pada Aisyah yang saat itu tengah menuguhkan secangkir teh dihadapannya. "Aisyah, kamu baik-baik saja?"

"Alhamdulillah, Pak. Saya baik-baik saja."

"Kenapa sekarang kau kembali bersikap formal?"

"Em....Pak Reyfan, maaf, sepertinya kita tak bisa berbicara lebih lama lagi karena saya dan Aisyah mau pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilan Aisyah. Iya kan Aisyah?" Muhammad mencari-cari alasan agar pria tampan di hadapannya berhenti memandangi istrinya walau wajah istrinya sudah tersimpan di balik cadar, ia masih tak rela.

"Iya, kebetulan hari ini memang hari sabtu. Memang jadwal rutin ke rumah sakit." Aisyah membenarkan. Tidak bohong. Memang kebetulan hari itu jadwal Aisyah periksa ke rumah sakit.

"Ayo Dik Aisyah, cepat siap-siap. Kita harus segera...."

Reyfan berdiri. "Sebelum kau pergi, apa aku boleh bertanya satu hal?" tanyanya dengan suara lantang.

Aisyah hanya diam. Sementara Muhammad menoleh ke arah Reyfan sejenak lalu menoleh ke arah Aisyah. Ia bingung.

"Apa kau sekarang bahagia?" Perih. Benar-benar perih bagi Reyfan.

Aisyah terdiam sejenak. Lalu berkata, "Alhamdulillah, Pak. Saya bahagia. Saya sangat bahagia," jawab Aisyah tegas, berharap Reyfan menjauh darinya.

Reyfan tercekat."Baguslah kalau begitu," katanya mengangguk sambil tersenyum enggan.

Ia membatu beberapa saat di tempatnya berdiri. Andai saja waktu bisa diulang, andai saja saat itu ia tidak pergi ke Singapura, mungkin saja Aisyah akan menjadi miliknya. Ya, takdir Tuhan siapa yang bisa menentang? Bahkan orang setampan dan sekaya Reyfan pun tidak bisa membeli takdir dengan uang. Tuhan yang berkuasa. Dan Tuhan pula yang berkehendak. Jika Tuhan berkata terjadi, maka terjadilah.

-----00-----
😊😊😊😊
Rabu, 13 Maret 2019

-----00-----😊😊😊😊Rabu, 13 Maret 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kerlingan Sayyidah AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang