54. CINTA YANG MENGALIR

5.5K 284 10
                                    

Malam menjadi pagi. Di bandara Juanda, Aisyah berdiri mematung sambil memegang paspornya. Tentu saja Aisyah sedih. Air matanya pun tak terbendung lagi. Bagaimana tidak? Ia harus berpisah dengan orang-orang yang disayanginya. Kiai Huda, Sayyidah, Madinah, Ein dan seluruh santri putra dan santri putri pondok pesantren As-Syams. Kelak, Aisyah akan sulit untuk bertemu dengan mereka lagi.

"Sudah, jangan menangis, Nduk! Kamu kan bisa telepon," kata Kiai Huda mencoba menenangkan.

"Iya, Neng! Jangan bersedih! Lagi pula kita hanya beda negara, bukan beda dunia. Hehehe..." tambah Sayyidah mencoba menghibur Aisyah.

Aisyah hanya mengangguk. Diciumnya tangan Kiai Huda berulang kali lalu dipeluknya lelaki sepuh itu dengan sangat erat. "Aba jangan lupa makan dan minum obat."

"Iya, Aba tahu," sahut Kiai Huda sambil mengelus punggung putri sulungnya.

Aisyah melepaskan pelukannya pada Kiai Huda lalu ia beralih memeluk Sayyidah. "Tolong jaga Aba. Jangan sampai lupa memberinya obat," nasihatnya.

Sayyidah menggangguk sambil menepuk-nepuk punggung kakaknya itu. "Iya, beres!" jawabnya dengan ceria, seperti biasa.

Aisyah melepaskan pelukannya. "Salam untuk Madinah dan Elin di pondok, ya?"

"Iya," jawab Sayyidah sambil menganggukkan kepala.

"Ayo, Dik! Pesawatnya sudah mau berangkat!" ujar Muhammad sambil memegang gagang koper Aisyah.

Aisyah dan Muhammad pun pergi setelah mengucap salam. Mungkin beberapa tahun lagi Aisyah dapat bertemu dengan orang-orang yang disayanginya kembali.

-----00-----

Di Singapura, Reyfan masih sibuk dengan pekerjaannya. Siang malam ia tidak lepas dari laptopnya. Perusahaannya benar-benar collapse. Harga saham perusahaan menurun drastis, karyawannya banyak yang di PHK. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan mungkin setahun lebih untuk mengembalikan kondisi perusahaannya.

Di apatemennya, Reyfan duduk disofa, berteman laptop dan secangkir kopi yang sudah kehilangan kehangatannya. Ya, kopi yang ada di mejanya sudah dingin. Ia terlalu fokus dengan laptopnya hingga kopi yang ada di atas meja tidak ia jamah sama sekali.

"Pak, ini saya bawakan grafik harga saham perusahaan," ujar Salim.

Reyfan menyambar berkas yang diberikan Salim. Lalu segera membaca berkas-berkas itu dengan seksama. Tak lama setelah itu, dilemparkannya berkas-berkas itu sambil mengumpat. Lantai apartemennya jadi terpenuhi kertas-kertas yang berserakan.

"Sabar, Pak. Bukankah harga saham kita sudah naik?"

"Kau bilang itu sebuah kenaikan? Saham kita hanya naik 0,1%. Kita sudah memecat lebih dari 15% dari jumlah karyawan! Kalau begini terus, perusahaan kita akan hancur! Hancur!"

"Istighfar, Pak. Istighfar!"

"Astaghfirullahal adzim." Reyfan tersadar. "Terima kasih, Lim. Lebih baik, sekarang kamu ke Jakarta untuk bernegosiasi dengan Pak Ginanjar."

"Baik, Pak."

Salim pun pergi sesuai perintah Reyfan. Stres dan jenuh. Ya, itulah yang dirasakan Reyfan. Ia pun keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Langit sore Singapura dengan semburat warna jingga di sana seakan ingin mengobati kejenuhan Reyfan. Hei, tiba-tiba ada bayangan wajah cantik Aisyah di langit sore itu.

"Aku merindukanmu, Aisyah. Andai saja kau ada di sini, mungkin aku tak akan sejenuh ini."

Setelah puas menikmati langit kala itu, Reyfan kembali masuk ke dalam apartemennya. Lantas ia membaringkan tubuhnya di atas sofa, memejamkan mata dan menutup matanya dengan lengannya. Penat. Ya, ia merasa sangat penat. Tapi ia tak bisa tertidur. Ia mengalihkan lengannya, membuka mata, lalu melihat meja, ada HP di atasnya. Diraihnya HP itu. Sambil masih terbaring di atas sofa, ia melihat-lihat pesan yang masuk. Hei, ada SMS dari Kiai Huda. Ia tercekat. Namun ketika ia hendak membuka pesan itu, tiba-tiba koleganya dari Jakarta menelepon. Dan akhirnya ia pun urung membuka pesan itu.

-----00-----

Muhammad mengambil kunci dari dalam tas jinjingnya, membuka pintu kosnya, lalu mempersilahkan permaisurinya untuk masuk. Aisyah pun masuk ke dalam rumah kontrakan Muhammad. Matanya tampak menyisir setiap sudut-sudut ruangan hanya untuk melihat-lihat.

Muhammad lantas menaruh tas dan koper yang ia bawa. "Maaf, ya. Aku hanya bisa menyewa kontraan kecil seperti ini."

Memang ruangan itu sangat kecil bila dibandingkan dengan pondok pesantren As-Syams yang begitu luas. Hanya ada sebuah kamar, ruang tamu kecil dan kamar mandi. Buku-buku tertata rapi di dalam rak, beberapa pakaian menggantung di gantungan baju, sementara ada karpet merah yang menjulur di atas lantai. Kamar itu cukup rapi untuk ukuran kamar seorang pria yang tadinya lajang.

"Apa ini kos rumah tangga, Mas?" tanya Aisyah.

"Ehem! Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu sebelum kau bilang kodenya."

Aisyah mengernyitkan dahi. "Kode?" tanyanya keheranan.

"Kau tidak ingat kemarin malam aku memintamu apa?"

Aisyah mengingat kembali malam-malam sebelumnya. Lalu ia tersenyum di balik cadar hitamnya. "Iya, maaf Mas. Aku lupa."

"Untung aku punya istri peka," ujar Muhammad lalu terkekeh.

"Baiklah, aku akan mengulangi pertanyaanku. Apa ini kos rumah tangga, Habibi?" tanya Aisyah lalu terkekeh juga.

"Iya, Habibati." Muhammad mengelus kepala Aisyah.

Ya, setiap hari, bahkan setiap detik, Muhammad selalu ingin membuat istrinya tersenyum. Baginya, senyum istrinya adalah kenikmatan yang sangat indah dan tak akan bisa tergantikan dengan apa pun.

-----00-----
😊😊😊😊😊
Senin, 11 Maret 2019

Siapa di sini yang mau dipanggil suaminya dengan sebutan Habibati?

Kerlingan Sayyidah AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang