"Aku bahkan tidak bisa membedakan. Dia itu bidadari atau manusia?"
Ini bukan hanya tentang Sayyidah, tapi juga tentang Aisyah. Mereka adalah bidadari dunia yang jatuh cinta pada pria yang sama.
"Kamu itu bidadari bukan?"
Wanita berhidung mancung i...
Kiai Huda mengetuk pintu kamar Aisyah. Tak lama ia mengetuk pintu, Aisyah membuka pintu kamarnya. Kiai Huda tersenyum padanya. Aisyah membalas senyuman ayahnya itu.
"Ada apa, Ba?" tanya Aisyah dengan nada suaranya yang lembut nan lirih.
"Aba boleh bicara?"
"Tentu saja."
Kiai Huda dan Aisyah masuk ke dalam kamar. Mereka melanjutkan perbincangan mereka. Kiai Huda menyodorkan sebuah foto seorang pria berkumis tipis berbaju koko pada Aisyah. Lalu Aisyah menerima foto itu dari ayahnya dengan rasa keheranan.
"Apa ini, Ba?" tanya Aisyah.
"Namanya Muhammad. Dia adalah putra bungsu Kiai Rohim."
Aisyah memandang ayahnya lekat. "Lalu?"
"Aba ingin menjodohkannya denganmu, Nduk. Dia ini sangat cocok denganmu. Selain tampan, dia juga sholeh dan seorang hafidz. Kapan lagi ada seorang lelaki seperti ini yang mau melamarmu?"
Mata Aisyah membulat. Ia tertegun sejenak. "Tapi, Ba..." kata Aisyah enggan.
"Tapi kenapa? Tiga bulan lagi dia akan melanjutkan kuliah S3 di Mesir. Kalau kamu menikah dengannya, masa depanmu akan cerah. Kalian bisa meneruskan pondok pesantren ini," jelas Kiai Huda ngotot.
Aisyah hanya diam. Ia tak mungkin melawan perkataan ayahnya. Dan tak mungkin juga bagi Aisyah mengatakan pada ayahnya bahwa ia menyukai Reyfan. Kalaupun Aisyah katakan, Aisyah tahu benar bahwa Kiai Huda tidak akan menyetujui hubungannya dengan Reyfan lantaran Kiai Huda pasti tidak ingin putri yang sangat ia sayangi bersanding dengan seorang pria yang baru mengenal agama seperti Reyfan.
"Bagaimana? Kamu mau kan?" tambah Kiai Huda antusias.
Aisyah berpikir keras. Ia harus benar-benar matang dalam memikirkan hal ini karena pernikahan adalah sesuatu yang akan dijalani untuk selamanya. Aisyah kali ini tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan ini. Tak berapa lama Aisyah berpikir, akhirnya Aisyah sadar bahwa tidak seharusnya ia memikirkan dirinya sendiri. Saat itu Aisyah memikirkan perasaan Sayyidah yang juga menyukai Reyfan. Selain itu, Aisyah juga memikirkan perasaan ayahnya yang ingin memiliki menantu yang bisa diandalkan untuk meneruskan pondok pesantren As-Syams.
Aisyah menjawab pertanyaan ayahnya dengan diam. Ia tidak bisa menolak permintaan ayahnya. Dalam agama Islam, diamnya seorang gadis yang akan dijodohkan dengan seorang pria, berarti gadis tersebut menjawab iya. Kiai Huda mengerti apa yang dimaksud dengan diamnya putri sulungnya itu. Ia langsung keluar kamar Aisyah dengan wajah yang sumringah.
Aisyah tahu bahwa inilah keputusan yang terbaik. Tidak akan ada yang terluka jika dia mau menikahi putra bungsu Kiai Rohim, pikirnya. Tapi hati seorang wanita tak bisa dipungkiri. Sakit. Itulah yang dirasakan Aisyah saat itu. Ia hanya bisa menepuk dadanya pelan sambil mengucap istighfar. Lalu ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Lama sekali ia melamun. Berjuta pemikiran lalu lalang membuat kepalanya pusing.
"Apa keputusanku sudah benar? Apa aku salah?" Aisyah bertanya-tanya.
Aisyah beranjak dari ranjang lalu mengambil air wudlu. Ia berniat untuk melaksanakan shalat dhuha. Setidaknya setelah shalat, ia akan merasa sedikit lebih tenang. Setelah melaksanakan shalat dhuha, ia berdo'a seperti biasa. Kemudian ia mengadu kepada Allah tentang masalah yang saat ini tengah ia hadapi. Ia sadar bahwa ia hanyalah seorang hamba. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali meminta dengan menengadahkan tangan kepada Tuhan yang Esa, yaitu Allah SWT.
"Apa yang harus hamba lakukan, ya Allah? Sebelum ijab qabul diucapkan, beri hamba petunjukMu. Amin." Pinta Aisyah pada Tuhan yang Maha Esa, Allah SWT.
-----00----- 🤗🤗🤗🤗 Selasa, 5 Maret 2019
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.