(Twenty Seven) Dan lagi

3.8K 398 39
                                    

Jaemin menggulung lengan kemejanya hingga siku. Suasana koridor sekolahnya yang sepi karena memang ini jam pelajaran. Jaemin baru saja kembali dari ruang guru usai membantu Leeteuk saem membawa buku. Hingga tak sengaja seseorang menabraknya.

"Maaf, nak" kata orang itu.

Jaemin memperhatikan seorang pria yang baru saja menabraknya, sedikit aneh pikir Jaemin. Pria yang menggunakan pakaian seperti petugas mekanis AC itu mengenakan topi dan masker hingga wajahnya tak tampak jelas. Acuh dengan hal itu Jaemin pun melanjutkan langkahnya menuju kelas.

"Kenapa ramai sekali?" tanya Jaemin yang baru saja masuk kelas disambut oleh kebisingan teman-temannya.

"Kang saem tidak hadir, yuhuuuuu" seru Haechan. "Mau ke kantin?"

"Let's go!" balas Jeno.

"Kalian duluan saja, aku mau menyelesaikan catatanku" kata Renjun tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku.

"Baiklah, ayo Jaemin"

"Em, kalian duluan saja. Ambilkan aku dan Renjun makanan, aku akan menunggu Renjun" ujar Jaemin dibalas anggukan oleh Jeno. "Jangan lupa periksa menunya!" seru Jaemin lagi sebelum Jeno dan Haechan meninggalkan kelas.

Setelah sepuluh menit, Renjun menyelesaikan catatannya. Jaemin dan Renjun berjalan beriringan sambil sesekali bercanda, sesuatu yang langka terjadi saat bersama Jaemin. Hingga tak sengaja Renjun menyenggol Lami yang sedang berjalan membawa bebrapa alat praktikum.

"Maaf aku tidak sengaja" kata Renjun.

Melihat Renjun menunduk membantu Lami membereskan alat praktikum, Jaemin pun turut membantu meski tak menatap Lami sedikitpun. Setelah selesai membereskan, Renjun kembali meminta maaf.

"Sekali lagi, maaf" ucap Renjun tulus.

"Pantas saja aku sial" desis Lami sebelum pergi.

"Apa katamu?" erang Renjun yang saat itu mendengar desisan Lami yang tentu tertuju untuk Jaemin, sahabatnya.

Jaemin juga mendengar itu. Kini ia mentap Lami yang juga mentapnya dengan gurat kebencian yang masih terlihat.

"Aku yang menabrakmu, bukan Jaemin. Jangan sembarangan kau menyalahkan!" Sentak Renjun yang langsung tersulut emosinya. "Ku pikir kau berubah, cih! Sama saja"

"Berubah apa maksudmu, eoh?" balas Lami.

"Dengar ya, Lami..."

"Renjun sudah" cegah Jaemin.

"Biarkan aku menyelesaikan ini, Jaem" lirih Renjun sambil menatap Jaemin dengan tatapan menyalang. "Biar aku selesaikan ini. Biar aku beritahu betapa buruknya pikiran gadis ini!" erang Renjun lagi sambil menunjuk Lami.

"Jangan keterlaluan kau, Huang" ucap Lami.

Entahlah. Ini hanya masalah sepele, tapi justru kedua remaja ini tak bisa mengontrol emosi mereka.

"Aku sudah muak berdiam diri ketika kau mengatakan sesuatu yang buruk pada Jaemin. Dan kau tidak lebih dari seorang gadis munafik"

"Huang Renjun!"

"Apa? Mau berdalih? Sudahkah kau berkaca? Bagaimana dirimu di depan Jeno? Bagaimana dirimu selalu memperburuk keadaan Jaemin?"

"Dia sendiri yang memperburuk keadaannya!"

"Dan itu semua karena kau, Lami. Karena kau Jaemin mengorbankan semuanya!"

"Renjun sudah, cukup!"

Jaemin menarik Renjun menjauh dari Lami sebelum pertengkaran antara sahabat dan gadis yang berarti baginya itu berlanjut. Renjun melepas paksa genggaman Jaemin saat mereka setelah mereka menuruni tangga menuju lantai dasar.

"Apa? Mau membelanya lagi?" tanya Renjun dengan senyuman meremehkan. Renjun baru saja benar-benar menyadari bahwa Jaemin begitu lemah menghadapi gadis yang dibencinya itu.

"Jangan seperti ini, aku mohon. Aku hanya tidak ingin kau terkena masalah, sungguh" jelas Jaemin, Renjun mendecih.

"Masalah? Kau lah yang selalu dalam masalah, Jaem. Astaga! Aku terlalu muak dengan semuanya. Kau, kita tidak sehari dua hari berteman. Kita sudah bersama sejak kecil, aku ini sahabatmu dan aku benci melihatmu terus-terusan hancur di bawah gadis itu"

"Aku tau, aku paham betul apa maksudmu. Aku percaya kau mengatakan ini sebagai seorang sahabat. Dan kau menginginkan yang terbaik untukku. Begitupun aku"

"Iya, kau benar. Kau selalu menginginkan yang terbaik untuk orang-orang yang kau sayangi. Sampai kau sendiri tidak sadar sudah mengorbankan semuanya. Bahkan perasaanmu terhadap Lami pun kau korbankan untuk Jeno, wah hebat sekali"

"Jaemin, jadi kau..."

Jaemin dan Renjun mengalihkan perhatian pada seseorang yang muncul dari balik tembok penyekat. Jeno berdiri menatap tak percaya kedua orang dihadapannya setelah mendengar perdebatan yang cukup runyam di antara keduanya.

"Tapi aku bersyukur setidaknya aku yakin kau tidak akan memiliki hubungan dengan gadis (Lami) itu" lirih Renjun sambil menepuk bahu Jaemin kemudian meninggalkan anak itu bersama Jeno.

Ketegangan pun mulai terasa. Terlalu banyak yang ingin Jeno ketahui hingga ia tak sanggup mengatakannya. Sedangkan Jaemin seakan sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan Jeno berikan padanya. Karena Jaemin tau akan ada saatnya situasi ini terjadi. Hanya saja Jaemin tak meyangka akan secepat ini.

"Jadi ini alasanmu? Ini yang sebenarnya terjadi? Saat aku mengatakan menyukai Lami hingga reaksi tak suka Renjun dan Haechan. Inilah alasannya?" tanya Jeno. "Kau lebih dulu menyimpan perasaan pada Lami?" tanya Jeno lagi.

Hening beberapa saat.

"Jawab aku!" sentak Jeno.

"Kau sudah tau, lalu kenapa masih bertanya?" balas Jaemin dengan intonasi yang tenang.

"Kenapa kau tidak mengatakan padaku bahwa kau memiliki perasaan pada Lami? Kenapa kau merahasiakannya dan memilih mengorbankan perasaanmu? Astaga Jaemin! Aku merasa menjadi saudara yang buruk dengan merebut apa yang seharusnya menjadi milikmu!"

"Dan sekarang tidak ada gunanya kita mempermaslahkan ini, Lami sudah bersamamu"

"Tapi-"

"Tapi apa? Aku mencintai Lami tapi dia tidak. Kau dan Lami memiliki perasaan yang sama. Sekalipun saat itu aku mengatakan yang sebenarnya, Lami akan tetap bersamamu, dia akan memilihmu. Itu semua tak ada bedanya"

"Tidak, Jaem. Kau salah. Jika kau mengatakannya, ini semua tak akan terjadi. Dan aku akan lebih memilih sendiri daripada harus berkencan dengan seseorang yang dicintai oleh saudaraku sendiri"

"Cukup, Hyung!"

Jeno membeku. Sentakan Jaemin dengan menyebutnya hyung benar-benar membungkam dirinya.

"Aku tidak mau kita membahas ini dikemudian hari. Cukup ini yang terakhir!" erang Jaemin.

Jaemin memilih pergi dengan kembali ke kelas dan mengurungkan niatnya untuk makan bersama di kantin. Jeno mengerang kesal sambil menatap Jaemin yang mulai menaiki satu persatu anak tangga.

Disisi lain, terjadi kegaduhan di lantai dua. Jaemin bisa mendengar teriakan-teriakan yang semakin jelas saat dia hampir sampai di anak tangga paling atas. Jaemin bisa melihat jelas pria yang mengenakan seragam mekanis AC lengkap dengan topi dan masker yang hampir menutupi wajahnya itu tampak berlari tergesah sambil memeluk tas hitam diikuti beberapa guru dan siswa laki-laki di belakangnya.

Jaemin mulai bingung apa yang harus ia lakukan saat menyadari pria itu sedang dikejar oleh orang-orang dibelakangnya. Hingga tanpa sengaja mata mereka saling bertemu dan membuat Jaemin terpaku dipijakan anak tangga paling atas.

mata itu???

Batin Jaemin sebelum senggolan cukup keras dari pria itu membuyarkan lamunannya hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh menggelinding di satu per satu anak tangga membuat siapapun yang menyaksikan itu memekik ketakutan. Termasuk Jeno yang masih di tempatnya tadi.

"JAEMIN!!!"

*

*

*

tbc...

Crash | Book I (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang