26)Untaian Do'a.

878 37 13
                                    

"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepadaKu."
|Q.S. Al-Baqarah:186|

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Minggu, 24 Maret•
Madinah, pukul 17:00•

~Yussof's POV ·on·~

"Assalamu'alaikum warahmatullah," seruku saat baru saja sampai di depan pintu kamar asrama.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Zaadith sembari membukakan pintu untukku. "Eh, ayo masuk!" titahnya ketika melihat aku yang datang.

Akupun tersenyum simpul lalu masuk ke dalam dan menutup pintu kembali.

Sesampainya di dalam kamar, aku langsung merapikan barang-barang yang kubawa.

Setelah selesai, aku pun menghampiri Zaadith yang sedang duduk di lantai yang berlapiskan karpet.

"Kamu habis dari mana? Kok nggak bilang-bilang sih, kalo mau pergi? Habis pulang?" tanya Zaadith setelah aku duduk di sampingnya.

Aku menggeleng pelan, "Nggak. Bukan pulang,"

Zaadith pun menautkan kedua alisnya bingung. "Loh, terus ngapain?"

"Itu," aku ragu. Jika aku mengatakan hal yang sebenarnya, maka Zaadith pasti akan memintaku untuk bercerita lebih banyak lagi. Jangankan untuk menceritakannya lagi, aku bahkan tak sanggup untuk sekadar mengingatnya saja. Hatiku tak sanggup mengingat perkataannya.

"Maadzaa? Udah lah, cerita aja! Kita 'kan sahabat," ujarnya mendesakku.

Aku pun terdiam sebentar. Lalu menghela napas pelan. "Aku habis dari rumah Aira,"

"Ngapain? Terus kok kamu jadi kayak sedih, begini?" tanyanya. Mungkin ia heran dengan ekspresiku akhir-akhir ini.

"Aku telah memutuskan untuk menyetujui perjodohanku dengan Aira. Tapi sesampainya di sana …" sungguh, aku tak kuat melanjutkan kata-kataku.

Zaadith terlihat sangat penasaran. "Loh? Bagus, dong?" tanyanya masih belum tahu apa yang telah kualami.

Aku menunduk dalam, berusaha menetralkan nyeri di ulu hatiku saat ini. "… dia menolak," lirihku.

"Hah? Tapi, kenapa? Bukankah dulu, ia tidak setuju saat kamu ingin membatalkan perjodohan kalian?" tanyanya lagi.

"Na'am, tapi itu dulu. Tidak dengan sekarang. Kurasa, aku telah begitu menyakitinya. Karena dulu aku berniat membatalkan perjodohan kami,"  jawabku masih dengan menunduk.

"Apa dia memberimu alasan yang tepat?" tanyanya.

"Tidak. Sudah berulang kali aku menanyakan alasan sebenarnya ia menolak perjodohan kami. Ia hanya menjawab; karena ingin fokus sekolah. Selebihnya, ia hanya diam," na'am, sudah berulang kali. Sama seperti yang kulakukan dulu, padanya. Menyakiti hatinya berulang kali.

"Padahal, aku sangat membutuhkan alasannya, alasan yang tepat. Jika dia memiliki alasan yang tepat untuk menolakku, aku akan menerima jika perjodohan kami batal. Namun jika alasannya kurang atau bahkan tidak tepat, seperti ini. Maka aku akan terus memperjuangkannya," sambungku.

"Tapi …" jawab Zaadith menggantung. "… apa dulu saat kamu menolak perjodohan kalian, kamu memberikan alasan yang tepat, padanya?" sontak saja, pertanyaan Zaadith barusan seolah menyentil hatiku.

[SDRS2] HASNA | SELESAI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang