Setelah berhasil menyusup dari gerbang keramat Pak Satria, rintangan lain pun datang.
Tampak guru BK yang sedang berjaga, memeriksa kelengkapan murid-murid SMA Rising Dream.
Dari ujung rambut sampai kaki, tak akan ada yang luput dari tatapan elang Pak Egy. Teliti banget, mikroskop para detektif aja sampai kalah.
"STOP!" Pekikan di sisi kanannya, sukses membuat sebelah kaki Vanila terhenti di udara.
Suara berat itu bukan milik Pak Egy, bukan pula Pak Satria, tapi sosok yang tingkat seramnya lebih berkali-kali lipat.
"Eh..Pak Broto?" Vanila mencoba tersenyum walau jatuhnya malah meringis paksa.
"Kamu kenapa jalannya kayak keong gitu? Takut ketahuan siapa?" tanya Pak Broto dengan kumis tebalnya yang selalu bergoyang-goyang.
"Lah, tadi kan gerbangnya sudah saya kunci, kok kamu bisa masuk?" Suara lain menyahut, datang dari arah berlawanan.
Setengah bingung bercampur kesal, Pak Satria mengentak menghampiri Vanila.
"Mana kuncinya? Jangan-jangan kamu punya kunci serepnya, ya?" Pak Satria memicing curiga.
Ditatap dengan cara yang tidak menyenangkan seperti itu, membuat darah Vanila mendidih.
"Kok Bapak jadi nuduh saya? Coba sekarang Bapak cek dulu udah bener apa belum tadi nguncinya. Itu kan tugas Bapak, kok malah lempar kesalahan ke saya."
"Loh..loh, kamu itu yang salah, kenapa malah kamu juga yang marah?" balas Pak Satria yang merasa Vanila sudah kelewat batas.
Pak Broto memijat-mijat keningnya, pening sendiri. "Sudah! Sudah! Kenapa kalian malah ribut sendiri? Vanila sana ke lapangan dulu, Pak Satria coba cek gemboknya udah benar-benar dikunci apa belum."
Sebelum berputar menuju lapangan, Vanila mendengus kasar. Pak Satria pun tampaknya juga masih kesal.
Perang masih terus berlanjut melalui tatapan, sampai akhirnya Pak Broto meneriaki Vanila lagi, meminta gadis itu segera berlari ke lapangan.
Tak mau kena amukan lagi dari Pak Broto, cepat-cepat ia berlari kecil menuju lapangan. Di sana ada sekitar lima murid yang sedang menanti eksekusi hukuman dari Kepala Sekolah.
Ia mengambil posisi di barisan paling depan. Panas. Jam pelajaran pertama juga sudah berbunyi, tapi dirinya malah terpanggang di tengah lapangan seperti itu.
Bosan menunggu Pak Broto yang tidak muncul-muncul ke lapangan, Vanila bermaksud mengajak berbincang cowok di sebelahnya.
"Lagi dihukum juga, Kak?" tanya Vanila, sok akrab.
Cowok itu melirik Vanila dengan ekspresi malas. "Enggak, lagi nungguin pembagian doorprize."
Baru setelah dibikin dongkol dengan jawaban itu, Vanila membaca nametag siswa yang tertera di seragam cowok itu.
Mahesa Putra Pradana.
Sialan, kenapa tadi gue nggak nyadar kalo dia kakak kelas yang kata orang-orang paling songong tapi banyak penggemar itu? Penyesalan emang selalu datang terlambat
"Kenapa? Dongkol? Nyesel udah ngajakin ngobrol gue?" Heksa makin nyolot. "Lain kali kalo mau basa-basi, cari pertanyaan yang lebih kreatif."
Vanila sudah nyaris menembakkan sumpah serapahnya, kalau saja Pak Broto tidak muncul tiba-tiba.
"Kalian semua lari keliling lapangan sepuluh kali. Waktunya dua puluh menit dimulai dari sekarang!" perintah pria itu sambil mengeluarkan stopwatchnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...