Sekujur tubuh Vanila seolah mati rasa. Ia tahu jika sumpahnya cepat atau lambat akan benar-benar terjadi. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana mencegahnya.
Berkali-kali ia sudah mencoba menghubungi ponsel Brilian, tapi tidak ada jawaban.
Bisa dipastikan cowok itu sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya.
Bibir Vanila terasa makin perih. Takut luar biasa. Segala macam imajinasi berlalu lalang di benaknya. Lalu ketika tanpa sengaja tatapannya jatuh ke ponsel, di saat bersamaan nama Brilian berpendar.
"Mbak itu ada telepon kok nggak diangkat?" Cowok yang tadi memapahnya, menunjuk ponsel di telapak tangan Vanila yang gemetar hebat.
Ini beneran Brilian yang telepon, kan? Atau....
Jantung gadis itu berdegup semakin kencang ketika ibu jarinya yang basah bergerak ke layar ponsel.
Glek.
Sebelum menjawab panggilan itu, Vanila menarik napas berulang kali. Berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mendengar segala kemungkinan buruk yang terjadi.
"Ha...lo?" Vanila menyapa dengar suara bergetar. Pliss, Bri. Bilang kalo lo baik-baik aja. Gue pengen denger suara lo.
"Halo."
Deg!
Bukan, itu jelas bukan suara Brilian. Kini, Vanila benar-benar ingin menjerit. Ia seolah bisa menebak apa yang selanjutnya akan dikatakan lawan bicaranya.
"Kak, teman yang punya ponsel ini? Barusan teman kakak kecelakaan."
Pegangan Vanila di ponselnya melemah. Tulang-tulangnya serasa rontok. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, Vanila mencoba merespon dengan suara parau.
"Di..ma..na? Sekarang di..a di mana?" tanya Vanila gagap. Ingin rasanya bisa menembus ponselnya agar dapat bertemu Brilian secepatnya.
"Di Rumah Sakit Medika, Kak. Udah dibawa ambulan. Kakak buruan nyusul aja, soalnya tadi dia langsung nggak sadarkan diri," tukas remaja itu.
Vanila juga bisa mendengar suara-suara lain dari sana yang tak kalah panik.
Karena tak memberi penjelasan pada orang-orang yang masih mengerumuninya, salah satu di antara mereka bergerak menghampiri Vanila.Gadis itu tampak kesusahan saat mencoba menaiki motornya. Jelas saja, rasa ngilu masih menusuk-nusuk dari paha sampai ke lututnya pasca tertabrak tadi.
"Mbak mau ke mana? Biar saya antar saja." Cowok yang mungkin sepantaran dengan Key itu, kembali menawarkan bantuan. "Saya yang punya warung itu, Mbak. Yang tadi juga nolongin Mbak pas jatuh tadi."
Vanila mengerlingnya. Bimbang. Di situasi normal, sangat pantang baginya meminta bantuan orang lain. Tapi kalau menuruti keegoisannya, bisa-bisa ia terlambat ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Ficção AdolescenteKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...