Aku berusaha menutup mata, mengingkari semua yang tampak nyata. Setelah kubuka lembaran lama, aku baru sadar jika sejak awal aku yang sudah membuatnya terluka.
(Brilian Aditama)
***
Usai membaca pesan singkat itu, Vanila meremas ponselnya. Urat-urat lehernya mengencang.
Tak peduli meski Pak Ismed berdiri di depan pintu menghadangnya, Vanila nekad menerobos kerumunan sampai akhirnya berhadapan dengan guru itu.
"Eits, kamu mau ke mana!" Hanya dengan sebelah tangan, Vana berhasil dicekalnya.
Gadis itu cepat-cepat menyisir rambutnya dengan tangan lantas memamerkan senyuman termanisnya untuk mengelabui Pak Ismed.
"Pak, saya kebelet banget. Boleh ijin ke toilet dulu, ya?" tanyanya dengan suara lemah lembut.
Pak Ismed menggeleng-geleng tegas. "Nggak, kamu pasti cuma cari alasan aja, kan? Nanti kamu kabur, pura-pura lupa kalo saya minta ke BK. Lalu di jam akhir nanti, kamu langsung buru-buru pulang. Van..Van.. bapak udah hapal kebiasaanmu sama Brilian dari awal semester."
Mendengar nama Brilian disebut, Vanila dan Helen menoleh serempak. Lalu di detik yang sama, keduanya segera membuang muka.
"Nah, lihat! Kalian mau bertengkar lagi, kan! Sudah, sudah..biar guru BK saja yang menangani."
Helen mengangguk patuh. Sedangkan Vanila masih saja mematung di tempat semula. Guru Senior itu terpaksa menyentak Vanila untuk yang kesekian kalinya.
"Pak...saya ke toilet dulu, ya." Vanila mengiba di sebelah Pak Ismed.
Kini ketiganya berjalan beriringan. Satu tangan Pak Ismed mencekal lengan Vanila, memperlakukannya seperti buronan yang hendak kabur.
Ya Tuhan, gue harus gimana? Kalo bilang Pak Ismed, nanti pasti Late kena hukuman. Kalo gue diem aja, apa dia bakal baik-baik aja sampe finish?
***
Baru pemanasan sekitar tiga menit, peluh membanjiri dahi Late. Telapak tangannya berkeringat. Ini sama saja dengan bunuh diri. Ia pun sadar, menerima tantangan adu lari dari Brilian adalah sebuah kegilaan.
Tapi semua akan terlihat sah-sah saja, ketika orang-orang mengetahui ia sedang jatuh cinta. Jadi, wajar saja kalau sekarang kewarasannya hilang.
"Kita nggak lagi taruhan ya, lo inget itu. Vanila bukan bahan taruhan." Late mengacungkan telunjuknya ke wajah Brilian. "Gue nerima tantangan lo, karena gue mau ngebuktiin kalo gue bisa dan pantas buat jadi pacar Vanila."
Brilian mendengkus lalu tersenyum sinis. "Kalo lo sampe kalah, siap-siap aja gue katain loser setiap hari."
Oksigen di sekeliling Late mendadak menipis. Oh, tenang saja. Bukan sebab penyakit asmanya yang kambuh tiba-tiba. Late yakin, kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan baik.
Tapi sebaliknya, hatinya sedang merintih. Satu per satu kenangan bersama Vanila berkelebat di depan matanya. Saat pertama kali mereka bertemu di lapangan pancasila dan Browny menyemangati Vanila berlari. Lalu jangan lupa adegan dramatis ketika gadis itu terjebak di dalam lift.
"Mulai!"
Lemparan pom-pom yang dipinjam Kaffa dari klub cheers, seolah menjadi tembakan dimulainya adu lari antara dua cowok itu.
Late gelagapan, tampak tidak siap dan kehilangan fokus.
Brilian jelas lebih dulu berlari di depannya. Terlihat tidak kepanasan atau bahkan lelah. Ia memacu langkah dengan sangat santai, merasa jika lawannya sekarang bukan tandingannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Novela JuvenilKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...