PART 2 : MASALAH

29.3K 4.5K 2.3K
                                    

Lebih baik dicaci karena apa adanya diriku, daripada dipuji dengan wajah topengku.
***

Total sudah lima kali putaran Vanila mengelilingi Lapangan Pancasila. Cukup lelah, tapi rintangan sesulit apa pun tak akan membuatnya menyerah dan berhenti memacu langkah.

Terbukti dari suara jejak-jejak kakinya yang saling beradu. Semakin lama semakin rapat.

Orang-orang yang hari itu juga jogging, sempat menoleh saat Vanila melintas.

Heran bercampur bingung, doi lagi kesetanan atau kesurupan, ya?

Usai menuntaskan putaran ke enamnya, Vanila menepi untuk mengecek putaran waktu yang diperolehnya hari ini.

"Good! Lebih baik dari kemarin," ujarnya lalu duduk di bawah pohon rindang yang berjejeran di tepi lapangan.

"Van!"
Sebelum Vanila menoleh, ia sudah bisa menebak siapa pemilik suara itu.

Tanpa bisa dikendalikan, sebuah senyuman terbit di balik masker yang ia kenakan. Senyum yang hanya bisa terulas ketika melihat wajah meneduhkan cowok yang sedang berjalan ke arahnya itu.

Sebuah botol minum disodorkan Brilian ke pipi Vanila. "Thanks, Bri! Tau aja gue baru kelar latihan."

Brilian menatap gadis itu beberapa saat. “Lepas aja maskernya, Van. Orang-orang nggak ada yang merhatiin kok. Topinya juga, nih!” Disambar cepat topi yang dikenakan Vanila.

Selama ini tak ada yang pernah berhasil memaksa Vanila melepaskan maskernya. Bahkan guru-guru di sekolah pun terpaksa mengalah sebab gadis itu mengatakan jika punya alergi berat dengan debu.

Tapi sekarang hanya melalui tatapan saja, Brilian berhasil membujuknya.
Dan situasi seperti itu sudah terjadi berulang-ulang.

Hanya ketika bersama Brilian, Vanila bersedia meninggalkan maskernya tanpa perasaan was-was.

“Beneran nggak ada yang liat, kan?” Vanila memperhatikan sekelilingnya.

"Serius! Nggak ada yang bakal liatin lo, Van. Orang-orang pada sibuk jogging." Brilian mengedarkan tatapan ke sekelilingnya.

"Lagian lecetnya pasti udah kering, kan. Lo nggak gerah apa, lari-lari sambil pake masker?"

"Udah biasa. Lebih gerah liat lo jalan sama Helen," tukas Vanila sambil meneguk air mineral dari botol minumannya. Ia nyaris tersedak begitu menyadari ucapannya sendiri yang terlontar begitu saja tanpa bisa dikendalikan.

Mampus gue. Pake acara keceplosan.

Dengan wajah semerah tomat, Vanila mengumpulkan nyali untuk melirik Brilian yang sedang sibuk merogoh-rogoh sesuatu dari dalam tas.

Beruntung, fokus Brilian sepertinya sedang tertuju ke hal lain. Vanila menarik napas panjang, lega bukan main.

Cinta diam-diam emang selalu bikin susah. Bergerak serba salah, nggak bergerak dikira kalah.

Bibir Vanila nyaris terbuka. Baru saja ingin menceritakan kejadian menyebalkan yang ia alami di kafe pada sahabatnya itu, tapi dari kejauhan pandangannya terusik dengan kemunculan seseorang.

Cepat-cepat dikenakan lagi maskernya. "Sini, Len!" teriak Vanila sambil melambai-lambai memberi kode pada Helen.

Cewek berambut panjang dan poni penuh itu mengentak menuju Vanila dengan senyum lebar. Ia juga melambai-lambai pada Brilian yang langsung menyambut antusias kedatangannya.

"Van..Van.., gue ajak ke toilet bentar, yuk." Helen baru sampai di tempat Vanila dan Brilian duduk. Namun ia sudah belingsatan sendiri menahan hasratnya yang muncul tiba-tiba. "Duh, kebelet banget nih."

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang