Jika saat memulainya saja aku sudah menyakiti banyak pihak, lantas adakah cara terbaik untuk mengakhirinya tanpa meninggalkan luka yang lebih dalam?
***
Vanila bangkit, berjalan mondar-mandir kebingungan sebelum kemudian berlari kencang ke luar perpustakaan. Menoleh ke kanan kirinya, namun tak mendapati seorang pun yang melintas di sana.
Tak kehabisan akal, ia bergegas menuju lapangan basket. Biasanya di jam-jam pulang sekolah begini, banyak anak kelas dua yang berlatih atau hanya sekedar nongkrong di sana.
"Kak, Kak, ada yang pingsan!" Vanila menghampiri segerombolan cowok kelas dua yang sedang berbincang-bincang di pinggir lapangan.
Bukan cuma satu orang yang bereaksi, tapi ketiganya dengan sigap memberi pertolongan pada Vanila.
"Dimana, Dek?" tanya Asnawi sembari mengikuti langkah Vanila yang beradu cepat.
Vanila tidak merespon. Di dalam maskernya, ia terus menggigit bibirnya sendiri. Cemas sekaligus merasa bersalah.
Tapi bukannya tadi gue nggak nyumpahin apa-apa, ya?
"Ke sini, Kak." Vanila mengangkat telunjuknya begitu sampai di depan perpustakaan yang pintunya masih terbuka itu.
Asnawi, Riyandi serta Awan, cepat-cepat masuk perpustakaan untuk mengangkat tubuh Brilian yang masih tergeletak di sana. Untungnya, lantai perpustakaan SMA Rising Dream dilapisi karpet berbulu tebal dan mewah. Jadi paling tidak selama ditinggal Vanila saat mencari pertolongan tadi, suhu tubuh laki-laki itu tidak menurun.
"Loh, itu Brilian kan, Zom?" Heksa tampak keheranan ketika teman-temannya melintas di koridor sembari mengangkat tubuh seorang siswa.
Sedetik kemudian, mulut Heksa menganga. Bola matanya diupayakan membulat penuh, seperti reaksi orang-orang-orang pada umumnya. Meski tetap saja jatuhnya hanya segaris, mirip bulan sabit.
"Zom, kita nggak gagal kan kemarin?"
Pijar hanya mendesah pelan. Sorot matanya mengikuti ke arah gerombolan teman-temannya yang berlari panik menuju UKS. Hatinya mencelus. Bahwa kenyataannya, tak satu pun ada yang tahu, bagaimana takdir seseorang akan berakhir.
***
"Lian kenapa ya, Van? Apa kecapean, ya?" tanya Helen cemas. Tak sedetik pun ia melepas genggamannya pada tangan Brilian.
Vanila meliriknya sebal.
Iya, cape disakitin lo terus, Len.Mulut Vanila sudah nyaris terbuka, gemas mengomentarinya macam-macam. Tapi begitu melihat Late yang tampak santai bersandar di ambang pintu, fokus gadis itu jadi terbelah.
"Heh, Lalat! Lo bantuin apa, kek. Malah leha-leha di situ. Nggak setia kawan banget, sih?" gerutu Vanila. Bibirnya sampai monyong lima centi.
"Setia kawan? Hidih, sejak kapan gue berkawan sama Brilian?" balas cowok itu seolah tak peduli melihat raut wajah Vanila yang geram. "Cek dulu lah, dia pura-pura atau nggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Fiksi RemajaKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...