Perkara hati, bukannya tak ada satu pun orang yang berhak ikut campur? Bahkan kepada orang terdekat sekali pun, kamu punya hak menutup rapat-rapat kotak rahasiamu.
***
"Van? Lo kenapa, sih? Kok diem aja?" tanya Brilian penasaran. Ia sampai mengubah posisinya menjadi duduk agar dapat melihat wajah Vanila dengan jelas.
Cepat-cepat Vanila memasukkan lagi salepnya ke kantong plastik lalu diletakkan di atas meja. Karena terlalu terburu-buru tangannya tanpa sengaja menyenggol tumpukan kertas milik Mama Brilian. Membuat beberapa kertas itu meluncur dari atas meja dan dua di antaranya jatuh ke lantai.
"Hadeh, bikin huru-hara mlulu lo." Brilian sambil mendesah lemah.
"Makanya Van, jadi cewek tu yang kalem kayak..." Ucapan Brilian terhenti. Kerongkongannya mendadak tercekat.Saat tatapannya menangkap sebuah gambar dari salah satu kertas yang ada di lantai, tubuhnya seketika mematung.
Vanila gelagapan. Ia cepat-cepat berjongkok, memungut kertas yang berceceran itu sembari merutuki kebodohannya sendiri. Tepat saat ia beringsut untuk meletakan kertas-kertasnya ke atas meja, suara Brilian terdengar lagi.
"Van, lo udah tahu semuanya? Mama cerita ke lo?" tanya Brilian dengan suara parau.
Vanila mengangguk. Ia berdiri membelakangi Brilian dengan tatapan yang mengarah ke lukisan wajahnya sendiri.
"Bawa ke sini dong lukisannya," pinta Brilian. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Glek.
Jantung Vanila seperti berhenti berdetak. Tangannya gemetar. Untuk kali pertama, ia merasa Brilian memberikan sinyal yang sudah belasan tahun dinantinya.
"Van? Cepet elaaah, lelet amat. Apa perlu gue panggil suster buat ambilin kertas di tangan lo itu?" panggil Brilian tak sabar.
Ia bahkan nyaris turun dari ranjang demi menghampiri Vanila yang masih saja tidak bereaksi.
"Lo suka gue kan, Van?"
Deg!
Belum juga degup jantung Vanila kembali stabil, pertanyaan Brilian membuat rasa kejutnya naik berkali lipat.
"Sorry kalo gue butuh waktu lama buat sadar." Brilian turun dari ranjangnya, tak sabar menanti pergerakan Vanila.
Vanila meremas-remas jarinya, bimbang. Harus jawab apa?
Perasaannya pada Brilian memang masih sama, namun bagaimana menjelaskannya, ya? Seperti sedikit berkurang? Tidak lagi ada sensasi menggebu-gebu setiap kali berada di dekat cowok itu.
"Belasan tahun lo suka gue, dan akhirnya gue baru sadar kalo ternyata gue juga suka lo," ucap Brilian sembari mendorong kecil bahu Vanila agar berbalik menghadapnya.
"Sekeras apa pun gue nyoba gambar wajah Helen, yang muncul di pikiran gue cuma bayangan wajah lo, Van." Brilian frustasi sendiri. "Gue kesel, gue marah, bahkan gue sempet nggak terima sama perasaan gue sendiri."
"Akhir-akhir ini gue bahkan sering bentak lo, kan?" tanya Brilian sembari memegangi lengan Vanila agar gadis itu juga berani menatapnya.
"Awalnya gue pikir dengan benci, sadis sama lo, bahkan jaga jarak, itu bakal buat pikiran gue sepenuhnya bisa fokus ke Helen. Tapi nyatanya enggak."
Suara Brilian terdengar lebih berat saat memaparkan kenyataannya pada Vanila "Terlalu banyak kenangan, kebersamaan dan kebiasaan kita, yang rasanya aneh kalo gue lakuin sendiri."
Brilian menarik napas dalam-dalam. Ia ingin mencari kejujuran dari manik mata Vanila. Namun sedari tadi gadis itu hanya diam menunduk, tidak bereaksi.
"Terus maksud lo ngomong kayak gini ke gue apa?" tanya Vanila dengan wajah sangsi. "Lo mau kita gimana, Bri?"
"Gue mau semuanya balik lagi seperti biasa," tegas Brilian membuat kening Vanila berkerut. "Kita tetep deket, ke mana-mana berdua, main bareng, gue makan di rumah lo dan sebaliknya. Yaaa, apa pun yang emang biasa kita lakuin bareng-bareng."
Vanila mendecih. "Dengan status lo yang masih pacaran sama Helen?"
Brilian bungkam.
"Lo harus pilih salah satu Bri, atau bakal ada dua hati yang terluka." Vanila meletakkan telunjuknya ke dada Brilian. "Satu hati cuma buat satu nama."
Butuh beberapa menit sampai akhirnya Brilian berani mengambil keputusan.
"Kalo gue pengennya sama lo, gimana?" Brilian bertanya hati-hati. Sebenarnya ada sedikit keraguan yang membuatnya takut untuk bertanya. "Lo juga bakal ngelakuin hal yang sama, kan?"
Vanila mengangkat wajahnya. Kini dua pasang mata itu bersitatap, seolah berusaha menyelami perasaan masing-masing.
"Berkali-kali gue hampir bikin lo celaka, Bri. Dan gue nggak mau itu terjadi lagi." Vanila akhirnya bersuara. "Semakin sering kita bareng, semakin intens hubungan kita, semakin sering juga kemungkinan kita berantem, kan?"
Vanila menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan oksigen agar sesaknya berkurang.
"Dan lo tahu sendiri tiap kali gue marah, mulut gue nggak bisa dikontrol. Gue bisa aja bikin lo celaka lagi kayak kemarin lewat sumpah yang nggak sengaja gue lontarin."
Meski sudah lama Brilian mengetahui soal sumpah serapahnya, Vanila merasa tetap perlu menjelaskan lebih detail.
"Apa cuma itu doang alasannya?" tanya Brilian curiga. Peka jika ada yang disembunyikan Vanila darinya. "Lo yakin nggak ada alasan lain?"
Vanila menatap lukisan di tangannya lalu memandang Brilian yang tampak tak sabar menanti jawabannya.
"Maksud lo apa?" tanya gadis itu. Mulai tak nyaman begitu menyadari Brilian ingin mengusik urusan pribadinya.
Ceklek.
Vanila dan Brilian menoleh bersamaan. Di ambang pintu, sosok cowok berkulit putih berdiri sembari menatap keduanya bergantian.
"Ya, gue punya alesan lain." Vanila menjawab pertanyaan Brilian yang sempat terjeda.
Tatapannya tidak terlepas pada sosok Late yang tampak bingung melihat reaksi tak biasa dari gadis itu.
Sampai tanpa disengaja, bola mata Late bergulir ke sebuah kertas yang ada di genggaman Vanila.
***
Tok tok tok... Cieee yang pada nggak sadar ini udah author note.
Kalo aku kasih kotak ini ke kalian, mau buat simpan rahasia soal apa?
A. Nilai-nilai ulangan yang jeblok (kek Nobita)
B. Curhatan soal gebetan yang diembat temen (buang sekalian temennya ke kotak ini😁)
C. Atau masalah lain?Untuk sementara, kalian mungkin bisa tenang. Tapi seperti angin topan yang datang tiba-tiba, situasi bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat.
JENG JENG!Salam sayang,
Rismami_sunflorist
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...