Persahabatan kita memang tidak pernah salah. Namun semakin lama aku jadi lupa batasannya. Bahwa mencintaimu, tidak seharusnya sedalam ini.
***
Bagi Vanila, menunggu tidak pernah semendebarkan ini. Kalau diijinkan, ia ingin sekali menemani orang yang disayanginya itu, berjuang di antara hidup dan mati.
Namun yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah merapal doa dari luar ruang operasi. Bersama orang-orang yang juga menyayangi laki-laki itu, mereka mencoba menguatkan satu sama lain.
"Gue beli nasi uduk, nih." Key datang bersama Late. Membawa beberapa kantong plastik berisi makanan. "Ini buat gue, Vanila, Late, Mama.."
Sembari membagi satu per satu makanannya, Key mengabsen orang-orang di depannya.
"Loh, Bang." Late menyadari sesuatu. "Si Helen nggak lo beliin?"
Key mengedikkan bahu, tak peduli. "Lupa kalo ada dia."
Melihat tingkah kakaknya, Vanila jadi tak enak hati. "Len, ini punya gue buat lo aja."
"Issssh, nggak bisa gitu lah, Van. Lo pasti capek banget dari tadi udah nemenin Brilian. Sejak dia dibawa ke RS, lo kan di samping dia terus."
"Yaudah, dibagi dua aja, ya." Vanila menghela napas panjang. Dilirik tajam Key yang tampak tidak merasa bersalah itu.
Mama Brilian hanya menatap kosong makanan di depannya. Padahal pagi tadi, ia melewatkan sarapan karena sibuk mempersiapkan materi untuk meeting.
Siangnya saat istirahat, Cintamy juga tidak sempat makan sebab kliennya datang tiba-tiba minta konsultasi perkara sengketa rumah tangga.
Tepat ketika Helen hendak membujuk calon mertuanya itu, lagi-lagi ia keduluan Vanila.
"Mama sering bawain bekal buat aku sama Brilian. Kalo bekalku nggak abis, Brilian pasti marah. Kata dia dosa buang-buang makanan," tukas Vanila.
Bukan maksudnya menggurui. Tapi kalau diingatkan soal Brilian, mungkin saja Cintamy akan luluh.
"Satu suap aja deh, Van." Mama Brilian memberi kode pada Vanila dengan membuka mulutnya.
Vanila mengangguk penuh semangat. Sebelum Mama Brilian berubah pikiran, cepat-cepat ia menyendok penuh nasi berserta lauknya.
"Ya nggak sebanyak itu juga kali, Van." Key memonyongkan bibirnya sambil menggeleng.
Sebuah senyuman terulas di bibir Cintamy. Meski masih belum bisa tersenyum lepas, keberadaan Key serta Vanila sungguh-sungguh memberinya kekuatan.
"Keluarga pasien Brilian?"
Vanila terlonjak dari duduknya. Ia melompat kecil, lalu melesat cepat menghampiri dokter Fajar yang berdiri di depan ruang operasi.
"Dok, operasinya lancar, kan?" tanya Vanila, harap-harap cemas.
Dokter senior di Rumah Sakit Medika itu tidak langsung berkomentar. Dengan sabar ia menunggu Mama Brilian yang tampak menuju ke arahnya.
"Kita tinggal menunggu Brilian sadar," tukas Dokter Fajar begitu orang-orang mengerumuninya. "Operasinya berjalan lancar."
Seluruh beban yang menggelayut di pundak Cintamy seketika runtuh. Lega bukan main. Ia sampai nyaris merosot ke lantai kalau Dokter Fajar tidak refleks menangkap lengannya.
"Tapi saya belum bisa memprediksi kapan dia sadar, karena itu tergantung dari bagaimana kekuatan tubuh masing-masing pasien. Yang jelas, dia sudah berhasil melewati masa kritisnya."
Karena terlampau senang, Vanila langsung memeluk sosok cowok di sampingnya. Ia tidak memastikan lebih dulu, sebab yakin kalau kakaknya yang berdiri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...