PART 39 : PATAH (2)

11.9K 2.1K 426
                                    

Di saat kita sudah sama-sama membuka hati, kesempatan itu tiba-tiba hilang. Tidak tahu apa penyebabnya, tiba-tiba saja kita sudah berjarak.

 Tidak tahu apa penyebabnya, tiba-tiba saja kita sudah berjarak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Itu lukisan lo? Jelek amat," celetuk Late tiba-tiba. Membuat suasana canggung di sana seketika lenyap. "Vanila udah jelek, jadi makin jelek di gambar itu. Buahahaha."

"Hih! Lo kenapa sih selalu ngajakin gue perang!" Vanila langsung menyerang Late, menjepit leher cowok itu dengan ketiaknya. "Noh, untung gue udah mandi kan jadinya wangi."

Late tidak hanya diam saja. Ia melakukan perlawanan. Ditarik lengan Vanila lalu dipelintir ke belakang. Dalam sekali sentakan, sepasang tangan gadis itu sudah berada dalam cekalannya.

"Gue udah belajar beladiri dikit-dikit sama Bang Heksa. Jangan main-main lo." Late berkata bangga, dadanya dibusungkan.

Entah kebanggaannya itu ditujukan untuk sendiri atau kepada Heksa yang menjadi sosok idolanya.

Bola mata Brilian seketika menatap nanar. Bukan tertuju ke arah kedua remaja itu, melainkan menyorot pada selembar kertas yang terjatuh ke lantai. Bahkan ujung kertasnya sedikit terinjak sepatu Vanila.

"Lo cari mati ya, Lat?" tanya Vanila dengan nada mengintimidasi. "Lepasin buruan atau kalau nggak..."

"Kalo gue tetep nggak mau nglepasin?" Bukannya takut, Late malah meracau. Ada makna tersirat dari pertanyaannya.

Kerongkongan Vanila tercekat. Berkali-kali ia meneguk ludah, terlihat gugup. Saat tatapannya terlempar ke sudut lain, ia buru-buru mengangkat kakinya, menjaga jarak dari Late.

"Eh, eh... Ya ampun sorry Bri, gue nggak lihat kertasnya jatuh." Vanila memungut kertas di bawahnya dengan wajah bersalah. "Yah, jadi agak kotor."

"Makin kumel dah tu muka lo. Persis kek aslinya," ucap Late cekikikan.

"Ini gara-gara lo, sih! Buruan bersihin." Disodorkan kertas itu ke hadapan Late.

Namun gerak refleks cowok itu lebih cepat. Ia menyingkir menghindari Vanila yang mendekat. "Hih, ogah. Sepatu lo kan sering dibuat jalan di yang becek-becek, juga di tempat kotor."

Belum cukup menghamkimi Vanila, bola mata Late kembali melebar. "Jangan-jangan pernah lo bawa nyungsep juga di selokan, ya?"

Mendengar itu, Vanila maju selangkah lantas menonyor jidat Late. "Lo pikir gue anak batita yang baru belajar jalan? Sampe bisa nyungsep di selokan?"

"Ya kan lo itu takut banget sama anjing. Bisa aja lo pernah dikejar anjing terus lari kenceng sampe nggak liat jalan. Eh ternyata di depan ada selokan," komentar Late memberi alasan yang lebih masuk akal.

Brilian terdiam, meresapi setiap kalimat yang meluncur dari bibir Late. Mendung menggelayuti wajahnya.

Baru saja Vanila hendak melayangkan pukulan ke lengan Late, ponsel di saku gadis itu berdering.

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang