PART 53 : BERJUANGLAH

9.5K 1.7K 333
                                    

Dia tiba-tiba membuka hati. Setelah bertahun-tahun diabaikan dan tersakiti, mungkinkah rasa yang telah kusudahi ini akan mengakar lagi?

***

Bibir Late sedikit pucat. Kulit putih cowok itu berubah kemerahan karena terlalu lama berjemur di bawah matahari. Melihat penampakan pacarnya yang seperti mayat hidup itu, Vanila meremas-remas tangannya gelisah.

"Ini mereka berdua kenapa, Pak?" Bu Weni memicing curiga. Menatap ke arah Late dan Brilian secara bergiliran. "Oh, berantem juga kayak cewek-cewek ini?"

Sontak, wajah Brilian serta Late mengencang. Secara kompak keduanya melempar tatapan ke pacar masing-masing.

"Adu lari di lapangan belakang, Bu. Di luar jam pelajaran pula." Pak Ismed melipat kedua tangannya di depan dada. "Nggak tahu juga tujuan mereka apa."

Late nyengir. Brilian hanya melengos saat Bu Weni mempertanyakan permasalahan di antara kedua bocah laki-laki itu.

"Nggak ada yang mau jelasin ke saya? Oh, oke. Jadi kalian kompakan main gerakan tutup mulut?" Bu Weni mengangguk-angguk maklum, walau sorot matanya menyiratkan hal yang berbeda.

"Jadi kita boleh balik ke kelas kan, Bu?" tanya Vanila memberanikan diri.

Helen, Brilian, juga Late, menanti jawaban guru BK itu sembari merapal doa. Murid yang sudah terjebak masuk ke ruang BK, tidak pernah dibiarkan lolos begitu saja oleh beliau.

"Pulang sekolah bantu petugas kebersihan beres-beres perpustakaan, laboratorium Fisika, gudang penyimpanan alat-alat olahraga, dan Lab.Komputer." Bu Weni menunjuk satu per satu murid di depannya dari yang paling ujung. "Ya, kalian semua."

Vanila mengangkat tangannya ragu-ragu. "Maap-maap aja nih ya, Bu. Saya kan bukan anak IPA, jadi nggak pernah pake lab Fisika. Bisa diganti ke tempat lain aja, nggak?"

Bu Weni menyandarkan bahunya ke kursi. "Van? Kamu lagi nguji kesabaran saya, ya? Atau mau bersihin semua toilet.."

Sepasang tangan Vanila mengibas-ngibas. "Nggak, Bu.. Makasih. Hehe. Saya mending bersihin perpus dan lain-lain aja."

Tak ada yang minat berkomentar atau bahkan protes setelah menyaksikan Vanila nyaris saja mendapat hukuman yang lebih menyiksa.

"Yaudah biar cepat selesai, Vanila sama Brilian bersihin perpus dan Lab.Fisika. Helen sama Late ke gudang, nah sampingnya kan pas Lab.Komputer." Bu Weni memberi mandat yang kedengarannya sudah paten, tak bisa dibantah lagi.

Di antara ke empat murid itu, hanya Vanila yang tampak benar-benar tidak terima. Bukannya patuh dan bergegas menyelesaikan hukuman dari gurunya itu, Vanila bergerak maju mendekati meja Bu Weni.

"Mau protes apalagi, Van?" tanya Weni tanpa menoleh ke arah gadis itu. Kini beliau sibuk mencatat sesuatu di memonya.

"Saya nggak mau dihukum bareng Brilian, Bu." Vanila berterus terang.

Bu Weni meletakkan pulpennya lantas mendongak memandangi gadis itu.

"Kamu sama Brilian kan udah sering dihukum bareng. Jadi otomatis, kalian udah dapet chemistry buat kerja sama. Hukuman kalian bisa selesei lebih cepet. Oke?" Nada bicara Bu Weni yang penuh penekanan, seolah menyiratkan jika beliau tidak ingin dibantah lagi.

Di dalam otak Vanila, ia sudah menyiapkan berbagai macam alasan untuk dilontarkan pada guru BKnya itu. Tapi saat tatapannya tertumbuk ke arah Late, gadis itu tak bisa mengelak lagi. Seakan terkena mantra sihir, Vanila akhirnya mengangguk patuh. Mengurungkan niatnya menyerang Bu Weni melalui kata-kata pedas.

"Nah gitu dong, Van. Dari tadi kek nurutnya biar Ibu nggak pusing," celetuk wanita itu ketika melirik Vanila yang bergerak menjauhi mejanya dengan wajah pasrah.

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang