Awalnya gue ngira, terbiasa melakukan segala sesuatu bersama-sama dari kecil bakal bikin kita mudah jatuh cinta.
Namun lama kelamaan gue sadar kalau itu bukan cinta, melainkan ketergantungan yang salah.
***
"Apa lo liat-liat?" Vanila berkacak pinggang. Kepalanya mendongak menantang Late.
Di depannya, Late hanya mengulum senyum. "Ya gue punya mata, gunanya buat melihat. Kalo hidung gunanya buat mengendus, kalo telinga gunanya -"
"Dengerin ocehan lo?" potong Vanila cepat. Dibalas tatapan Late dengan sorot mata tajamnya. "Lo nggak usah ikut campur urusan kita, ya. Sana balik ke kandang lo sendiri. Lo anak Garuda, kan? Bukan Rising Dream?"
Di dalam hati, Late terkekeh geli. Ia sedang membayangkan bagaimana ekspresi Vanila setelah nanti diberitahu statusnya di sekolah ini. Tapi tunggu sebentar lagi, biarkan amukan gadis itu mencapai klimaksnya dulu.
"Udah ngomelnya?" tanya Late ke Vanila yang baru saja mengunci mulut. "Btw, kalian nggak penasaran kenapa gue bisa sampe sini?"
Vanila dan Brilian tak bersuara. Selang beberapa detik kemudian, keduanya menggeleng serempak.
"Lo kalo masih aja ganggu Va -"
Ucapan Brilian terjeda bersamaan dengan getaran yang ia rasakan di saku seragamnya.Nama Helen terpampang di layar. Brilian menatap sekilas ke arah Vanila, lalu kebimbangan tampak ketika matanya teralih ke ponsel.
Siapa yang harus diprioritaskan?"Iya, Len?" sapa Brilian dari balik ponselnya sambil menyingkir. "Mau pinjem buku paket Sejarah? Punya lo ketinggalan? Oh, gue ada pelajaran Sejarah di jam terakhir, sih. Yaudah sekarang gue anter ke kelas lo. Gurunya belum masuk, kan?"
Meski tidak mendengar jelas percakapan Brilian di telepon, jauh di lubuk hati Vanila ia tahu sebentar lagi akan ditinggalkan. Bukan menebak-nebak, tapi memang kejadian seperti itu sudah berulang kali menimpanya.
"Sorry Van, gue balik kelas dulu. Mau bareng gue?" tanya Brilian berusaha ramah.
Jelas, Vanila mengibaskan kepalanya. "Gue mau ke toilet dulu, Bri."
Sebelum benar-benar meninggalkan Vanila, sepasang mata Brilian memberi warning pada Late yang masih ada di sana. Entah mau apalagi, tapi sepertinya ada sesuatu yang sedang direncanakan youtuber gila itu.
"Hahaha. Lo ditinggal sama cowok lo? Kasihan banget," tukas Late sembari menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan wajah Vanila. "Cowok kayak gitu putusin aja. Kalo perlu buang ke laut."
Vanila mencebik. "Gue juga mau buang lo dari kehidupan gue. BAY!"
"Late!" Seruan dari balik punggungnya membuat Late menoleh bingung.
Vanila yang penasaran juga ikut mengarahkan tatapannya ke sumber suara. Ternyata seruan itu berasal dari Firza anak kelas sebelah, yang ternyata juga teman satu klub motor Late.
"Baiklah teman baru gue, nanti kita lanjutkan perbincangannya." Sebelum beranjak, Late menepuk-nepuk pundak Vanila sok akrab. "Kita bakal sering ketemu, kok."
Mendengar itu, Vanila mulai bisa menerka-nerka. Perasaannya tak enak. Dan semoga saja, apa yang ada di pikirannya saat ini hanya sekilas imajinasi buruk yang jangan sampai benar-benar terjadi.
Nggak mungkin dia sekolah sini, kan? Oh My God, malapateka apalagi ini?
Sambil melangkah menghampiri Firza, tangan Late merogoh-rogoh sesuatu di saku celananya. Usai mengirim chat ke Rendy, cowok itu masih sempat-sempatnya menoleh ke belakang untuk menatap Vanila sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
JugendliteraturKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...