PART 57 : TERIMALAH

9.1K 1.8K 397
                                    

Bulir-bulir keringat Vanila bercucuran dari dahi sampai ke leher. Ia duduk di boncengan driver ojek online dengan wajah tak sabar karena terjebak macet di sebuah persimpangan.

Seandainya aja motor gue nggak mogok tiba-tiba.

"Mas, nggak ada jalan lain?" Entah sudah kali keberapa Vanila melontarkan pertanyaan serupa.

"Yang jalan tikus biasanya ditutup Mbak. Soalnya masuk perkampungan, banyak anak kecil." Driver ojol bernama Witan itu, merespon dengan jawaban lain. Biar lebih bervariasi. Walau intinya tetap sama saja, Vanila diminta untuk bersabar.

Berulang kali Vanila melirik jam tangannya. Ia tidak tahu Rendy landing jam berapa. Tapi beberapa detik yang lalu, Vanila sempat menilik story Instagram Late. Laki-laki itu berada di salah satu coffee shop familiar yang ada di dekat bandara.

"Mas, kok nggak jalan-jalan sih, motornya? Saya bisa telat dong kalo macet terus kayak gini?" Karena matahari yang begitu terik, pipi Vanila sampai memerah.

"Loh, mau pergi toh, Kak? Kok nggak bawa apa-apa? Saya kira cuma main doang ke bandara," tanggap Witan sembari melirik Vanila melalui keca spionnya.

Cantik sih, tapi kayak preman kampung sebelah yang suka malak. Kalo yang sana malak duit, ini malah waktu. YAKALI motor gue bisa mabur sampe ke bandara, lewatin kendaraan lain di depan gue.

"Saya turun di sini aja deh, Mas." Vanila menepuk-nepuk pundaknya, meminta Witan untuk menepi. "Nanti gue kasih keterangan di aplikasi, kalo gue yang minta turun di sini."

Witan menimbang sesaat sebelum akhirnya mengangguk patuh. Takut seperti penumpang yang sudah-sudah, Witan kembali memperingkatkan gadis itu.

"Beneran dikasih ulasan loh, Mbak. Soalnya Mbak turun sebelum sampe di lokasi. Sama jangan lupa bintang limanya," ucap driver berpipi chubby yang tampaknya masih seumuran dengan Vanila itu.

"Iya, iya. Bawel banget dah lu kayak emak-emak lagi nawar di pasar," balas Vanila sewot.

Begitu motor Witan menepi, Vanila melompat turun penuh semangat, sampai nyaris lupa melepas helm yang masih menempel di kepalanya.

"Hehe, sorry, Bro. Tenang tenang, nggak bakal gue embat kok." Gadis itu menyerahkan helmnya pada Witan sembari meringis geli. "Thanks."

Witan menggeleng-geleng takjub. Di siang yang teramat terik itu, baru kali pertama ada penumpang yang nekad turun dari motornya dan memilih berjalan kaki sampai ke lokasi tujuan. Tak mau ambil pusing, ia pun bergegas menuju tempat lain untuk kembali bekerja.

Vanila meregangkan otot-ototnya yang kaku. Tangannya diluruskan. Kepalanya digerakkan ke kanan kiri. Karena orang-orang sudah mulai meliriknya dengan sorot aneh, terpaksa ia pemanasan seadanya. Beberapa pengendara bahkan kedapatan tersenyum geli.

Bibir Vanila sudah gemas menyumpahi macam-macam. Namun ia sadar, memaki orang yang berlalu-lalang di hadapannya, hanya akan membuat dirinya tampak semakin tidak waras.

Gue bela-belain panas-panasan kayak gini, lari nerobos macet demi ketemu Late. Kalo sampe nggak dimaafin, gue patahin lehernya.

***

Peluh membanjiri dahi Vanila. Ia berhenti di depan pintu masuk bandara sembari memegangi lututnya yang melemas.

Jarak bandara dengan tempatnya turun dari driver ojol tadi, sebenarnya tidak begitu jauh. Namun di tengah cuaca yang begitu terik, lengkap dengan suara klakson di mana-mana, juga kelaparan, capek drama pula, rasa-rasanya tubuh Vanila sebentar lagi ambyar.

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang