(Takutnya hanya aku yang merasa,
sementara dia biasa saja.)***
Sebelum mulai baca lanjutan part VaniLate, gue mau membagi kegalauan sejenak.
Kata orang-orang, terkadang apa yang kita tulis bisa jadi bener-bener kita alami. Cara kerja takdir emang suka becanda, kan? Dan kali ini, gue ada di posisi Vanila. Paham?
Iya, FRIENDZONE, kampret! Dshgzgsysvsgsbssgsgsgsvgsvs, sekian dan terimakasih.
(Mungkin abis ini gue mau nulis special horor, fantasi, thriller aja dah biar nggak kebawa baper baper nggak jelas.)***
Vanila memarkir motornya sembarangan lantas berlari kecil menuju teras rumahnya. Tampak sosok cowok bertampang tidak bersahabat sedang duduk dengan satu kaki terangkat ke meja. Ia khusyuk membaca majalah bola milik Key yang biasanya disimpan di lemari ruang tamu.
"Lo ngapain ke sini, Bang?" Vanila melepas ranselnya. Ia berdiri di depan Heksa, tak berminat duduk santai sambil berbincang dengan kakak kelasnya itu. "Mau ngebela Late? Basi, ah."
"Bukan gue yang mau jelasin!" Heksa buru-buru menahan gadis itu agar tidak masuk meninggalkannya sendirian di ruang tamu. "Bentar gue panggil dulu."
Tanpa menunggu respon Vanila, cowok itu beringsut dari ruang tamu, lantas berdiri di teras rumah. Dengan suara toanya, ia meneriakkan sebuah nama yang membuat kening Vanila berkerut.
"Zom!"
Belum sempat Vanila bertanya, muncul sosok gadis berkulit putih yang ke luar dari mobil Heksa. Ia tersenyum pada Vanila yang mematung di ambang pintu ruang tamu.
"Kak Pijar?"
Vanila tiba-tiba luluh. Tidak lagi berontak atau mencak-mencak seperti saat pertama melihat Heksa tadi.
"Maaf ya, Van, kalo aku sama Heksa terlalu ikut campur." Pijar mengusap lembut lengan Vanila. "Tapi karena awalnya emang gara-gara Heksa kalian jadi salah paham -"
Mendengar dirinya dijadikan kambing hitam, Heksa langsung tidak terima. "Lah kok salah gue?"
Pijar langsung memperingati dengan mendelik. Membuat Heksa yang pecicilan tiba-tiba menurut patuh.
Meski sambil memberengut, Heksa akhirnya maju menghampiri Vanila dan mulai bercerita.
"Jadi emang awalnya si Late minta collabs bareng gue," tutur Heksa yang merasa salah memilih kata-kata di awal ceritanya sebab wajah Vanila tampak semakin kencang.
"Tapi Late langsung nolak mentah-mentah tawaran dari gue, begitu gue ngajuin syarat kalo dia harus bisa jadian sama lo. Juga ngejauhin lo dari Brilian." Cepat-cepat Heksa melanjutkan ceritanya. "Late malah marah sama gue trus bilang, kalo perasaan cewek itu bukan mainan."
Tatapan tajam Vanila meredup. Ia tidak bisa berkata-kata. Telinganya fokus menyimak setiap kalimat yang meluncur dari bibir Heksa.
"Begitu Pijar mohon-mohon ke dia, baru akhirnya Late setuju." Heksa menyikut lengan Pijar. Mempersilahkan gadis itu untuk mengambil alih posisinya. "Zom, gantian lo yang cerita, dong. Enak aja dari tadi cuma ngangguk-ngangguk doang kek boneka kucing di toko orang Cina."
Pijar tidak menggubris. Telinganya bahkan sudah terbiasa mendengar ocehan Heksa yang menurutnya sungguh tidak berfaedah.
"Van, kamu inget hari di mana Brilian ulang tahun?" tanya Pijar yang langsung disambut Vanila dengan anggukan kepala. "Di hari itu, aku liat kamu sama Brilian kecelakaan. Kalian boncengan, naik motor bareng sama Brilian."
Isi kepala Vanila memutar kembali kejadian di mana Brilian memaksa gadis itu untuk turut memboncengnya. Lokasinya di tempat parkir sekolah. Kalau seandainya sepasang sahabat itu sedang tidak berselisih paham, Vanila pasti mau-mau saja diajak Brilian berboncengan ke Lapangan Pancasila.
"Seandainya hubungan kamu sama Brilian baik-baik aja, dan Late nggak ikut campur sama hubungan kalian, di hari itu bukan cuma Brilian yang kecelakaan, Van. Tapi kamu juga." Pijar menjelaskan dengan napas terengah-engah. "Kamu patah kaki, dan dokter mendiagnosis kalo kamu nggak bakal bisa running lagi."
Tanpa terasa, bola mata Vanila yang bening mulai memerah. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya gadis itu menyadari pipinya dialiri setetes air yang terasa hangat.
"Kalian berdua kecelakaan parah," kata Pijar dengan tegas, penuh penekanan. "Bahkan nyawa Brilian mungkin nggak bisa tertolong. Dia pergi, dan kamu patah kaki."
Vanila terhuyung. Ia sampai berpegangan pada tepi sofa untuk menguatkan pijaknya.
"Begitu aku ceritain semuanya ke Late, dia nggak perlu mikir dua kali buat bilang iya."
Mencampuri kisah asmara orang lain sebenarnya bukan ranah Pijar. Tapi melihat kesalahpahaman yang terjadi di antara Vanila dan Late, hati kecilnya mendadak terketuk.
"Late cuma nggak mau kamu celaka, Van. Apalagi setelah dia tahu kalo kecelakaan itu berdampak buruk sama impian kamu selama ini jadi runner." Heksa yang mulai waras, tiba-tiba bisa berkata bijak.
Terdiam sejenak, Vanila berusaha mencerna setiap kalimat yang didengarnya.
Jadi seharusnya di hari itu Brilian kecelakaan bareng gue? Tapi karena ada campur tangan Late yang bikin hubungan gue sama Brilian renggang, kejadiannya berubah. Walau Brilian tetep kecelakaan tapi dia masih punya kesempatan hidup. Sementara gue bener-bener selamet dari kejadian itu.
Heksa menarik napas panjang, lalu dihembuskan kasar. Sengaja ia menyentak pelan kaki Vanila. "Harusnya lo bilang makasih ke Late. Berkat dia, kaki lo masih utuh."
Tatapan Vanila berubah sendu. Matanya menyorot penuh duka, merutuki kebodohannya sendiri.
Lagi-lagi karena emosi, kesalahpahaman terjadi. Vanila yang punya sumbu pendek, selalu mengambil kesimpulan sendiri dari setiap apa yang didengarnya pertama kali. Sampai-sampai orang lain tidak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskan lebih dulu.
"Gue harus minta maaf sama Late."
***
Tibalah satu part lagi sebelum ENDING. JENG JENG!
Apa kalian yakin aku akan mengakhirinya dengan mudah? Masih inget gimana ending happy birth-die yang bikin aku kena sembur para readers?Jadi sebelum ke ending nih, ya. Aku mau ingetin satu hal.
Judul cerita ini emang VaniLate, tapi liat tagline nya dong. Cermati dalem dalem😋
Udah dapet petunjuk? Silahkan menduga-duga duluuuuOh iya, jangan lupa ikut Give Away novel Happy Birth-die ya di instagram beliabentang.
Salam sayang,
Rismami_sunflorist
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
أدب المراهقينKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...