Kalian pembaca ke berapa di part ini?
***
"Woy! Kesambet baru tahu rasa lo!"
Vanila hanya melengos, tidak sedikit pun terkejut. Sebaliknya, orang yang baru saja menepuk pundaknya sembari berteriak kencang di telinganya itu, langsung mendapat bogem mentah di lengan.
"Iya, kesambet setan." Vanila merespon ketus. "Setannya elo!" Kunci motor di tangannya diacungkan ke wajah Brilian.
"Hahaha. Lagi kesel masih bisa ngelawak juga." Brilian tertawa garing. "Mana ada setan ganteng kayak gue?"
Tatapan Vanila yang awalnya kosong ke arah depan, bergeser ke spion motornya. Belum sempat Vanila berpaling, tiba-tiba Brilian melakukan senam wajah di belakangnya. Pertama-tama cowok itu menjulurkan lidah, mendelik, lalu membuat pose memeable yang kocak parah. Mati-matian Vanila merapatkan bibirnya, menahan diri agar tidak tersenyum.
"Garing, dih."
Merasa Brilian mulai mencari celah, Vanila buru-buru menyalakan mesin motornya. "Gue lagi nggak mood, Bri."
Brilian menahan stang motornya. "Tenang aja. Gue nggak bakal ambil kesempatan dalam kesempitan."
"Ya terus?" Vanila menatapnya penuh selidik. "Gue emang lagi ribut sama si Lalat. Tapi gue juga belum bener-bener maafin lo, ya."
Brilian melipat kedua tangannya di depan dada. "Emang gue ada salah sama lo?"
Dengan gerakan kasar, Vanila mengarahkan spionnya ke wajah Brilian. "Lo mending ngaca dulu biar sadar!" semburnya sembari melaju ke luar sekolah dengan kecepatan penuh.
Pak Satria, yang kebetulan sedang berbincang dengan murid-murid di depan gerbang, sampai mengancung-acungkan tangannya penuh emosi. Mungkin setelah sekolah kosong nanti, ia akan mengadu pada Pak Broto perihal kebar-baran Vanila yang di luar batas.
Brilian melengos. Ia cepat-cepat lari ke tempat di mana motornya terpakir, lantas menyusul Vanila yang sudah lebih dulu meninggalkan sekolah.
"Astagfirullah! Dikira SMA Rising Dream ini sekolah balap apa gimana, yak? Tu bocah berdua nggak ada sopan-santunnya sama orang tua!"
Pak Satria berteriak heboh. Sementara murid-murid di sekelilingnya hanya cekikikan melihat tingkah pria paruh baya bertubuh gempal itu.
***
"Van, ke Lapangan Pancasila, yuk."
Di perjalanan, Brilian sengaja menyebelahi Vanila dan terus mengikuti arah motor gadis itu. Brilian tahu betul jika Vanila sedang bad mood, gadis itu pasti tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke tempat lain.
Kebiasaan Vanila cuma satu.
Lari dari masalah dengan cara berlari.
"Gue emang mau ke sana, Bri. Tapi males kalo ada lo," jawab Vanila sembari sesekali mengurangi kecepatan motornya.
"Janji deh, gue nggak bakal banyak omong. Cuma nemenin lo doang. Boleh, ya?" Brilian menatap sekilas ke arah gadis itu, lalu kembali fokus mengawasi jalanan di depannya.
Takut melanggar rambu-rambu jalan, Vanila tidak merespon Brilian lagi. Konsentrasinya kini sepenuhnya untuk mengemudi. Ia melaju dengan kecepatan sedang, tidak seperti saat ke luar gerbang sekolah tadi.
Sampai tanpa terasa, motor Vanila dan Brilian akhirnya memasuki area parkir Lapangan Pancasila.
Tiiin!
Suara klakson yang sengaja dibunyikan kencang itu, membuat keduanya terjingkat. Brilian nyaris mengumpat. Sebelum tiba-tiba si pengemudi ke luar dari mobil dengan wajah gelisah dan tergesa-gesa menghampiri keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...