Mencintai sahabat sendiri, jauh lebih rumit dibanding jatuh cinta dengan orang asing yang tidak kamu kenali sebelumnya.
***
Pasien di ranjang itu mengerjap-ngerjap begitu sinar matahari menerebos dari celah tirai kamarnya yang tersingkap.
Brilian mengusap matanya, menatap sekeliling kemudian bingung sendiri.
Perlahan ia bangkit dari ranjangnya. Mengambil posisi duduk lalu kembali menatap Vanila yang entah bagaimana ceritanya bisa tertidur di sofa.
Bukannya semalem dia tidur di ranjang sebelah gue? Siapa yang mindahin dia? Hiiii.
Dengan gerakan lambat dan hati-hati, Brilian turun dari ranjangnya. Merasa terganggu melihat kepala Vanila yang miring ke kanan tampak tak nyaman.
Ia berniat membangunkan Vanila untuk pindah ke ranjang. Namun setelah keduanya berhadapan lebih dekat, ia jadi merasa urung. Tidak tega karena Vanila tampak tertidur pulas.
Yah, itung-itung ucapan terimakasih karena udah dijagain semalaman.
Brilian duduk di samping Vanila lalu memegang kepala gadis itu, hendak disandarkan ke pundaknya.
Eh, tapi kan emang itu udah kewajibannya, kan? Salah siapa main nyumpahin gue?
Namun ternyata, hatinya lagi-lagi lemah. Ia tak punya pilihan selain mengikuti apa kata hatinya.
Disandarkan kepala Vanila di pundaknya lalu duduk diam mengamati langit-langit kamar.
Ceklek.
Suster Vika yang sudah di ambang pintu, nyaris keluar lagi. Pipinya memerah begitu melihat Brilian dan Vanila yang duduk berdekatan di sofa.
Brilian buru-buru meletakkan telunjuknya di depan bibir.
"Kenapa, Sus?" tanya Brilian dengan suara amat lirih.
"Aduh, Kak. Kemarin kan saya udah bilang, kalo Kak Brilian mau turun dari ranjang, harus dibantu orang lain." Suster gaul itu geleng-geleng kepala.
"Yaelah, Sus. Saya kan bukan abis melahirkan atau operasi sesar," balas Brilian tanpa rasa bersalah.
"Ya bukannya gitu, Kak," tak sadar, Suster Vika menaikkan intonasinya. Membuat Brilian langsung mendelik memberi kode padanya agar tidak berisik.
Refleks, dilirik Vanila untuk memastikan jika sahabatnya itu masih terlelap.
"Suster ngapain ke sini?"
Belum dijawab, Brilian sudah mengambil kesimpulan ketika melihat nampan di tangan suster Vika. "Oh, sarapan. Oke oke, nanti saya makan."
Usai meletakkan nampan makanannya ke meja khusus pasien, Suster Vika menghampiri Brilian lagi.
"Langsung di makan ya, Kak. Obatnya juga jangan lupa diminum." Suster Vika menunjuk ke rak kecil di dekat ranjangnya. "Obatnya saya taruh di situ."
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...