Untuk mereka yang sedang jatuh cinta dan terlampau bahagia. Sampai sampai lupa, jika orang yang bisa membuatnya sebahagia ini suatu saat mungkin saja membuatnya patah dan menangis.
***
“Ha? Lo tadi abis kejedot apa gimana, sih? Konyol,” desis Vanila sambil mengibas-ngibaskan kepalanya heran. “Daripada pacaran sama lo, mending seumur-umur gue jomblo.”
Duarrr!
Tak ada angin atau pun tanda-tanda langit mendung, kilatan petir disusul dengan gemuruh terdengar di seluruh penjuru SMA Rising Dream.
Jantung Vanila mencelos. Mulai panik dengan sumpahnya sendiri, karena tak biasanya semesta memberi tanda seperti ini.
“Kok tiba-tiba ada petir, sih?” tanya Late sembari menatap wajah Vanila yang mendadak dibanjiri keringat dingin.
“Heh cewek ninja, muka lo napa kayak orang nahan berak gitu? Ke toilet sana kalo kebelet.”
Vanila meremas-remas tangannya yang basah karena keringat.
Nggak bakal kejadian beneran, kan? Gue nggak bakal jomblo seumur hidup kan, ya?
“WOY!” pekik Late tepat di telinga Vanila. Kesal karena sejak tadi diabaikan gadis itu.
“Yaudahlah, nanti pulang sekolah gue jelasin sistem mainnya. Lo nggak bakal nyesel kalo mau jadi cewek gue," pesannya lalu mengacak-acak rambut Vanila dengan gemas.
Sampai Late pergi pun, Vanila masih membeku di tempatnya. Mendadak tubuhnya panas dingin. Tanpa bisa dikendalikan, jari-jemari gadis itu mulai meremas-remas bibirnya sendiri dari balik masker.
Takut, gelisah, bercampur bingung sebab selama ini ia tak pernah bersumpah untuk dirinya sendiri.
Nggak..gue nggak mau jomblo seumur hidup.
“Udah gue bilangin jangan pernah nyakitin diri lo sendiri."
Terdengar sebuah suara bersamaan dengan cekalan di tangan Vanila. Brilian datang di waktu yang tepat. Ia sepertinya sudah bisa menebak penyebab gadis itu tampak ketakutan sekarang.
“Siapa lagi yang kena?” tanya Brilian lembut lalu menyodorkan es krim vanila yang baru saja dibelinya di kantin.
Baru saja Brilian melepaskan cekalannya, lagi-lagi tangan Vanila kembali bekerja. Meremas-remas bibirnya sendiri, lalu mulai menggigit bagian bibir bawahnya dengan kencang.
Brilian kesal bukan main. Meski sudah belasan tahun melihat Vanila menyakiti diri sendiri seperti itu, nyatanya tidak membuatnya terbiasa. Tetap saja Brilian prihatin dan merasa hatinya ikut teriris.
“Biar lo nggak terluka lagi,” ucapnya menggantung.
Pertanyaan Vanila terjawab sudah, ketika Brilian melepas maskernya dengan hati-hati. Namun jauh di luar dugaan, tiba-tiba sebuah tangan kokoh menggenggamnya. Membuat seluruh syaraf gadis itu membeku seketika.
“Lo.. Lo ngapain, anjir?” tanya Vanila berusaha sesantai mungkin.
“Sementara tangan lo gue sita dulu.” Brilian berkata dengan nada mengancam yang menggemaskan. “Boleh, kan?”
Vanila meneguk ludah.
Gimana gue bisa nolak? Ini mah namanya kesempatan. Kalau kayak gini ceritanya, gue bukannya berhenti malah makin menjadi. Lain kali jambak rambut sendiri ah, biar kepala gue dielus-elus Brilian.
“Vanila!” Sebuah seruan dari balik punggung Vanila, membuat tatapan Brilian teralihkan.
Kebahagiaan Vanila yang baru saja membuncah, seketika lenyap dalam sekejap. Jari-jemari miliknya dan Brilian tak lagi saling bertaut. Genggaman di tangan Vanila terlepas begitu saja ketika sosok Helen yang sedang melambai sambil tersenyum itu, berlari kecil ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Novela JuvenilKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...