PART 29 : LENGAH

12K 2.1K 342
                                    

Kupikir dengan merelakan, aku akan merasa lebih lapang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kupikir dengan merelakan, aku akan merasa lebih lapang. Namun belum juga memulai, hatiku sudah patah duluan.

***

Kok kayak kenal, ya? Lalat bukan, sih?

Vanila melangkah maju, hendak mencari tahu sosok yang samar-samar dilihatnya.

"Van! Ck, lo ngapain bengong di situ?" Brilian meminta perawat mendorong mundur brankarnya. "Katanya mau -"

"Tanggung jawab? Iya kan, gitu lanjutannya? Sumpah kuping gue gatel dengerin lo ngomong gitu terus." Vanila memonyongkan bibirnya.

"Terus lo minta gue ngomong apa? I love you? Sarangheo?" ucap Brilian yang masih berbaring. "Masih kurang? Annyeonghaseo, sushi, dorayaki?"

Lupa jika ada hal yang ingin ia lakukan, Vanila melenggang mendekati Brilian. Ditonyor pelan dahi sahabatnya itu.

"Bego, lo. Itu nama makanan. Makanan Jepang pula, bego lo kejauhan." Vanila berkata sadis, tak peduli yang sedang disiksanya adalah pasien rumah sakit.

Ia lantas memberi kode pada perawat untuk mendorong kembali brankar Brilian.

"Biar dia aja yang dorong, Sus. Kekuatannya sebelas dua belas sama Hulk," tukas Brilian, tak bisa diam. "Sekali dorong, dijamin saya langsung sampe ke ruang VVIP."

"Bahkan bisa juga gue lempar Lo sampai ke ruang mayat, mau?" sahut Vanila, mengambil posisi seolah hendak mengangkat brankarnya.

Suster Vika terkekeh sesaat, memberi ruang pada Vanila untuk mendekat. Ia tidak benar-benar memperbolehkan Vanila mendorong sendiri brankar milik Brilian. Jadi, suster muda itu tetap tidak melepaskan pegangannya pada tepian brankar.

"Nah, itu ruangannya," kata suster Vika ramah.

Vanila diam saja, tak berekspresi. Meski sudah bermenit-menit berlalu, ia masih ingin mencari tahu siapa sosok yang tadi dilihatnya bersembunyi di taman.

Tapi cecunguk ini pasti nggak mau ditinggal...

Tatapannya yang terlempar ke arah Brilian, menyorot kesal. Hidung gadis itu kembang kempis seperti banteng yang hendak mengamuk.

"Lo kenapa dari tadi liatin gue?" tanya Brilian, seolah menyadari jika Vanila sedang merencanakan sesuatu.

Kalau soal beginian Brilian langsung peka. Kemarin-kemarin ke mana aja? Sampai-sampai Vanila harus jatuh bangun cuma buat bikin dia bahagia, masih aja dia belum peka.

"Baik kalau begitu saya tinggal dulu ya, Kak." Suster Vika memecah perang dingin di antara sepasang sahabat itu.

"Nanti seumpama mau minta sesuatu, tinggal pencet bel itu." Ditunjuknya bulatan merah di samping ranjang Brilian.

"Nggak usah, Sus," tegas Brilian menolak. "Pencet ini aja responnya lebih cepet."

Karena posisi cowok itu kini tidak berbaring tapi duduk di atas ranjang, tangannya berhasil menjangkau hidung Vanila.

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang