PART 64 : BENAR-BENAR PATAH (3)

10.3K 1.7K 545
                                    

Kekecewaan terbesar seseorang adalah ketika kepercayaannya dikhianati.

***

Vanila berdiri di depan kelas Late sembari memain-mainkan sepatunya. Digesek ke lantai, dilengkungkan naik, lalu secara kasat mata membentuk simbol love. Ia terkekeh sendiri, merasa lama-lama tampak seperti orang bodoh setelah beberapa hari berpacaran dengan Late.

"Buat gue, tuh?"

Suara sosok yang ada dipikirannya, menjelma nyata di sebelah Vanila.

"Tadi bentuk love, kan?" Late bertanya sembari melipat tangannya di depan dada.

"Lo sejak kapan di belakang gue? Kenapa tadi nggak langsung manggil?" Vanila memalingkan wajah, tidak ingin tertangkap basah pipinya memerah.

"Gue pengen tahu aja kalo cewek gue gabut, dia ngapain, gitu." Late mengerling jahil, menaik-naikkan sebelah alisnya. "Eh, ternyata kegabutannya nggak berfaedah."

Vanila mendelik. Namun Late tampaknya masih ingin terus mengoceh.

"Nggak kayak gue, kalo gabut ya ngevlog, menghasilkan karya juga pundi-pundi rupiah." Lagi dan lagi, cowok itu kembali mengagungkan profesinya sebagai youtuber.

Tak tahan mendengar ocehan cowok itu, Vanila segera melompat kemudian meraih leher Late yang langsung dijepit ke ketiaknya.

"Biasanya Bang Key yang jadi korban smack down gue. Kayaknya mulai hari ini, lo yang bakal jadi korban berikutnya," tegas Vanila, suaranya dingin. "Ayo ah ke kantin. Gue laper banget."

Masih dengan posisi yang sama, Vanila menyeret Late menuju kantin. Beberapa murid memperhatikan tingkah keduanya. Ada yang bersuit-suit, ada juga yang memandang Vanila dengan sorot tak suka.

"Apa liat-liat?" balas Vanila seraya mendelik ke murid-murid perempuan kelas dua yang kebetulan melintasinya.

"Masya Allah, anak kelas dua juga kena kebar-baran ni, bocah." Late ngelus dada sambil menggumam. "Lama-lama leher gue bisa patah kalo dipiting kayak gini terus."

Sesampainya di kantin, Vanila meregangkan lengannya yang sejak tadi melingkar di leher Late. Belum sempat cowok itu bernapas lega, Vanila kembali menyeretnya ke kedai Bu Minah.

"Bu, pesen Rock Ice, dong." Vanila langsung menerobos kerumunan murid kelas satu yang mengantre di depan kedai Bu Minah.

Late menunduk sopan berulang kali. Merasa kikuk dengan tingkah Vanila yang seringkali membuat orang-orang di sekelilingnya tak nyaman. Namun setelah mendapat senyum manis dari cowok setampan Late, murid-murid yang berkerumun itu mundur teratur. Secara sukerala memberi ruang padanya untuk memesan minuman lebih dulu.

Late selalu punya cara yang berbeda, walau sebenarnya tujuannya sama dengan Vanila, tapi ia terlihat lebih sopan dan berattitude.

"Mau yang rasa apa?" tanya Bu Minah ramah.

"Vanila," tukas Late sembari tersenyum.

Kemudian Vanila melanjutkan, "Late." Lesung pipinya mencuat karena senyumnya terus terulas.

Bu Minah menatap keduanya penuh arti. "Vanila Late, maksudnya?" tanya wanita itu memperjelas pesanan keduanya.

Secara serempak, Vanila dan Late mengangguk cepat. Keduanya berdiri di depan kedai Bu Minah, bersandar pada tembok pembatas yang tingginya setara dengan pinggang Vanila.

Bosan menunggu pesanannya siap, Late mengedarkan tatapan ke segara arah sambil mencari-cari tempat duduk yang kosong. Lalu tiba-tiba, bola matanya berbinar cerah. Bukan, bukan karena menemukan tempat duduk yang diincar sebelumnya.

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang