Bahkan meski aku terus berusaha menjadi jeda di antara hubungan keduanya, mereka tetap akan menjadi satu kata yang terikat. Yang tak pernah dapat dipisahkan oleh spasi atau pun tanda baca lainnya.
***
Helen ingin protes, namun akhirnya ia hanya bertanya, "tanggung jawab apa maksudnya?"
"Tanggung jawab karena udah bikin gue kecelakaan." Brilian menjawab dengan santai.
Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan wajah Vanila yang kini dirundung kegelisahan.
"Lo kan tabrakan sendiri, kenapa nyalahin gue?" Karena takut dicurigai, Vanila berusaha membela diri.
Brilian mencoba menggerakkan badannya, ingin merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. Sayang, sendi-sendinya masih terasa ngilu. Dibantu Mamanya, ia harus dibaringkan kembali.
"Nah itu lo tau," tukas Brilian sebal. "Seandainya aja tadi lo mau gue ajak pulang bareng, gue nggak bakal kecelakaan sendirian, Van."
"Ebuset, jadi lo mau ngajak-ngajak gitu? Ogah, anjir. Gue malah bersyukur -" Vanila spontan mengunci mulutnya, lalu meralat meski belum keceplosan, "gue bersyukur akhirnya lo bangun dan baik-baik aja."
Tangan Brilian menggenggam selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, hendak dilempar ke wajah Vanila. Namun ketika ia bergerak sedikit saja, area di sekitar dadanya memberontak untuk diistirahatkan lagi.
"Nggak usah cari perkara," ucap Vanila melayangkan ultimatum. "Perangnya ditunda besok lagi aja, kalo lo udah waras."
Mama Brilian terkekeh. Late memonyongkan bibirnya, merasa jadi obat nyamuk dadakan.
Mending Si Brilian pingsan lagi aja deh, daripada gue dianggurin gini?
"Kalo gitu, lo sekarang istirahat, ya. Biar gue sama yang lain balik." Sambil berpesan dengan suara lembutnya, Helen membenahi letak selimut Brilian.
Melihat itu, Mama Brilian serta Vanila tiba-tiba maju bersamaan menarik ujung selimut Brilian.
"Brilian nggak bisa tidur kalo kakinya nggak di dalem selimut." Vanila menggeser selimut Brilian, diturunkan lagi sampai ke dada.
Helen tetap mencoba tersenyum, seolah sedang berjalan di taman yang penuh bunga, padahal kenyataannya ia merasa seperti sedang menyusuri jalanan yang dipenuhi kepingan kaca.
Semakin lama dibiarkan, ia semakin terluka.
Mama Brilian menyahut. "Dari kecil dia udah kebiasaan gini."
"Iya, Ma. Gara-gara Brilian takut kakinya bakal ditarik setan kalo nggak masuk ke selimut. Hahaha. Dasar penakut, lo." Vanila menyeletuk cepat, lalu tertawa puas.
Sempat lupa kalau sahabatnya lagi sakit, Vanila nyaris mengguncang-guncang tubuh Brilian.
Kebiasan tiap kali ketawa, Vanila butuh lengan, paha, atau bagian tubuh orang lain yang bisa dijadikan sasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...