PART 1 : AMARAH

38.7K 5.1K 2.3K
                                    

Untuk apa terus berbuat baik, kalo ujung-ujungnya cuma berharap timbal balik.

***

"Dengan ini, hakim memutuskan jika Saudara Ernando dan Saudari Miranda, resmi berpisah."

Suara palu yang digetok berulang kali ke meja, memecah gendang telinga Vanila. Ia tidak mengerti, bahkan masih sulit memahami.

Sepertinya baru semalam gadis itu tanpa sengaja melontarkan kalimat keramat, yang berujung kiamat pada keluarga kecilnya.
Dan sumpah serapah itu, benar-benar terjadi dalam waktu singkat.

Pertengkaran orang tuanya kemarin bukan pertama kali terjadi. Bahkan tidak seheboh pertengkaran-pertengkaran sebelumnya.

Tapi Vanila sudah terlanjur muak. Amarahnya pun meledak. Sumpah serapah itu, lagi-lagi tak lagi bisa diredam.

"Tiap hari ribut terus! Kenapa nggak cerai sekalian?"

Tanpa terduga, kalimat yang diucapkan Vanila semalam menjelma menjadi kenyataan. Bibirnya yang sukses membuat sumpah serapah itu, masih terasa sangat perih. Lecet di mana mana.

Vanila membenahi letak maskernya ketika Hakim dan petugas pengadilan mulai meninggalkan ruang persidangan.

"Langsung masuk ke mobil," ucap Miranda, Mama Vanila yang langsung berderap tanpa berpamitan pada mantan suaminya lebih dulu.

Bukannya menurut, Vanila hanya mematung di tempat. Menatap Sang Papa yang sedang berjabatan dengan beberapa petugas pengadilan.

"Vanila! Mama bilang ayo!" gertak Miranda yang jengah sendiri menanti pergerakan putrinya.

Tak punya pilihan lain, Miranda mengentak menghampiri Vanila lagi, lalu diseret paksa keluar ruangan.

"Aku mau mampir sebentar ke kafe depan. Mama ke mobil dulu aja."

Melihat Mamanya yang hendak protes, Vanila menyambung ucapannya. "Iya, janji cuma bentar doang."

"Kalo kamu nggak nurut sama Mama, jangan harap Mama ijinin kamu ikut turnamen lagi."

Vanila mendecih. "Mama emang nggak pernah berubah! Pantesan Mama -" Bibir Vanila sudah bersiap melontarkan sumpah serapah kalau saja tidak buru-buru ditahan.

Sabar .. sabar.. sekarang gue cuma punya nyokap. Salah salah ngucap, bisa bikin semuanya lenyap.

Miranda nyaris membuka mulut, hendak memaki Vanila. Tapi putrinya yang keras kepala itu terlanjur melesat cepat ke arah berlawanan.

***

Gadis bertubuh kurus itu melangkah lebar-lebar seperti sedang dikejar mata-mata. Rambut sebahunya diikat kencang ke atas. Sesekali ia mendesis, menahan perih di bibirnya yang terasa berdenyut-denyut.

"Selamat datang!"

Suara-suara yang menyambutnya saling menyahut. Kafe yang didesain minimalis itu memiliki beberapa meja bundar dan kursi melingkar untuk ditempati pengunjung.

Cukup nyaman, walau tidak semewah kafe-kafe yang sering dijadikan tempat nongkrong Vanila.

Gadis itu mengentak maju menuju kasir. Namun tanpa diduga dari arah berlawanan, seorang cowok datang menyeberanginya untuk memesan sesuatu.

"Vanila latte satu," ucap Vanila bersamaan dengan suara seorang cowok yang juga memesan menu serupa.

Vanila mendengus. Yang datang duluan kan dia, harusnya cowok itu sadar diri mengantre di belakangnya.

Lain dengan ekspresi masamnya, cowok itu malah menatapnya sambil tersenyum, sok akrab.

"Pesanan atas nama?" tanya waitress bernama Arin dengan senyum ramah.

VaniLate (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang