Pipi Vanila memanas. Degup jantungnya berpacu hebat. Beberapa hari yang lalu, Brilian baru saja menyatakan cinta padanya. Eh, sekarang giliran late yang berterus terang.
Mimpi apa dalam waktu berdekatan ditembak dua cogan sekaligus?
"Gue..." Vanila menggigit bibir bawahnya. Ia sudah memilih ke mana hatinya akan berlabuh. "Hmm..."
Setiap detik yang berdetak di jam tangan Late, seolah menyiksa batin. Bulir-bulir keringat membanjiri dahinya. Ia tidak pernah merasa setegang ini.
Bahkan ketika pertama kali diminta menjadi pembicara di salah satu acara kampus pun, Late dapat menyelesaikan tugasnya tanpa sedikit pun merasa nervous.
"Gue..." Lagi-lagi Vanila menggantung ucapannya.
Late menahan napas. Jantungnya seakan berhenti memompa.
"Sebenernya gue..." Vanila tampak mengerutkan kening, bimbang.
Mulai pesimis, bayangan penolakan sadis berkelebatan di kepala Late. Membuatnya berkali-kali harus meneguk ludah, parno sendiri membayangkan jika imajinasi buruk itu benar-benar terjadi.
Ini pertama kalinya gue berani nembak cewek. Apa hari ini gue juga bakal ngerasain sakitnya ditolak?
Sebenernya bukan masalah sakitnya, sih. Tapi malunya pasti sampe ke ubun-ubun kalo gue beneran ditolak si cewek ninja.
Sugesti-sugesti negatif itu terus membombardir isi kepala Late, hingga tanpa sadar ia menyeletuk spontan, "HAHAHAHA. Prank gue kayaknya sukses, nih."
Vanila mendelik. Senyum yang ingin ia tunjukan ke Late seketika memudar.
"PRANK? LO BILANG BARUSAN PRANK?" Vanila mengulang kalimat yang diucapkan Late dengan intonasi lebih kencang.
Late mengangguk kaku. Wajahnya mendadak pucat, tak siap menghadapi reaksi Vanila.
"I..i..ya.." Late menjawab gagap. "Cocok kan buat gue jadiin konten? Ngeprank nembak temen sendiri. Hahahaha."
Vanila membelalak. "Temen?" tanyanya untuk memastikan telinganya tidak salah menangkap.
Tangan Vanila mengepal semakin erat. Bahkan kalau tidak ditahan, jari-jemarinya mungkin bisa remuk di tangannya sendiri.
"Lo pikir semua hal bisa lo jadiin bahan candaan?" Vanila mendengkus kasar. "Sampe ke hal yang paling sensitif di organ manusia yaitu hati, bisa-bisanya lo permainin seenaknya, Lat?"
Awalnya Late mengira Vanila akan memakinya habis-habisan. Ia bahkan khawatir jika Vanila sampai melesatkan sumpah serapahnya. Namun apa yang dilihatnya kini jauh lebih mengiris hatinya.
Vanila kelilipan, ya? Kok keluar air mata gitu? Atau dia emang beneran nangis?
"Lo emang keterlaluan, Lat," tukas Vanila dengan suara parau lalu beranjak dari kursinya. "Gue nggak mau marah ke lo karena gue harus melindungi diri gue sendiri."
Jauh di luar dugaan, Vanila menyambar minumannya lantas diguyur ke tubuh Late. Cowok itu jelas terkejut. Tak mengira Vanila akan bertindak sejauh ini.
"Van, lo apa-apaan, sih? Malu diliatin orang-orang noh."
Late celingak-celinguk. Dibasuh wajahnya sendiri yang terasa dingin berkat guyuran secup es vanila late yang masih utuh.
Namun ternyata, dinginnya belum seberapa dibanding tatapan Vanila yang menyorot dingin serta menusuk.
"Ini pembalasan yang seharusnya," ucap gadis itu dengan suara dingin. "Sekarang gue tahu, gimana caranya gue bisa melindungi diri gue sendiri."
Late mengangkat wajahnya, menunggu melanjutkan kalimat yang diucapkan Vanila.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...