Sebelum baca part ini, say happy birthday buat Guanlin yooook. Dia abis ultah gaizzz
***
"Iya sih, mirip Vanila," tukas Miranda tiba-tiba, memperhatikan wajah yang ada di lukisan itu. "Tapi lebih cantikan di gambar daripada aslinya."
Usai membuat Vanila kesal, Miranda kembali fokus menyelesaikan pekerjaannya. Lumayan, buat penghilang stres. Di rumah pun Vanila juga sering menjadi korban kejahilan Key kalau anak sulungnya itu sedang banyak tugas.
"Mir, lo sama anak sendiri kok tega sih," tukas Cintamy, berusaha membela Vanila dari penistaan ibu kandungnya sendiri. "Eh, tapi kalo diliat-liat, emang Vanila lebih cantikan di gambar. Hahaha."
Vanila menghujamkan tatapan sinisnya ke arah emak-emak yang sedang cekikikan itu. Meski umur sudah kepala empat, tapi kalau diminta menistakan orang lain, mereka jagonya.
Vanila berdeham dua kali. "Terus lukisan yang dipake Brilian buat nembak Helen? Itu yang buat siapa, Ma?"
"Ya nyuruh orang lah, Van! Yang lukisannya lebih bagus daripada lukisan buatan dia sendiri. Hahahaa." Cintamy terbahak mengingat kekonyolan yang dilakukan anaknya.
"Dia nggak pernah bisa lukis wajah Helen. Begitu lukisannya jadi, ya kayak gini terus. Mukamu tapi versi rambut panjang sama ponian," ujar Cintamy sembari mengangkat bahunya.
Jadi Brilian bohong sama gue? Cihh, kirain kemarin yang buat nembak Helen, lukisan dia beneran. Ternyata kagak? Tapi kenapa dia malah gambar wajah gue?
"Ma, Vanila ke kantin rumah sakit dulu ya," ucap Vanila ditujukan untuk ke dua wanita di depannya.
"Mau ditemenin, nggak?" tanya Cintamy cemas. Sepertinya ia yang lebih mengkhawatirkan kondisi psikis Vanila dibanding ibu kandungnya sendiri. "Mir..."
Cintamy menyikut-nyikut lengan Miranda. Namun sahabatnya itu hanya bergeming, tak mengalihkan sedikit pun tatapannya dari laptop.
"Nggak usah, Ma. Vanila cuma bentar doang, kok."
Usai menutup pintu kamar Brilian, gadis itu melangkah gontai menuju kantin. Bahunya turun. Kalau sudah bad mood parah begitu, obatnya cuma satu. Lari atau ngopi.
Mau kabur sebentar buat lari sore, tapi nanti Brilian langsung ngoceh panjang lebar, dikira Vanila mau lari dari tanggung jawab.
Jadi paling tidak untuk kali ini, sekaleng minuman dingin rasa Vanilla Latte bisa mengobati suasana hatinya yang sedang buruk.
"Mas, Vanilla Lattenya satu," ucap Vanila begitu sampai di kedai milik Mas Gunawan.
Baru sedetik menutup mulut, suara lain menyusul.
"Saya juga, Mas."
Vanila menoleh ke sumber suara karena merasa tak asing dengan sosok yang ada di balik punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Ficção AdolescenteKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...