Sorot mata laki-laki itu menatap nanar ke arah yang sama dengan tujuan Helen. Namun sebelum tertangkap basah, Late menyulap wajahnya menjadi santai seperti sedia kala.
"Lo nggak cemburu, Lat?" tanya Helen berbasa-basi. Agak jarang berbincang dengan Late, ia jadi bingung harus bereaksi seperti apa.
Late nyengir, tampak tak peduli. Bukannya segera masuk ke ruang UKS, ia beringsut duduk di sebuah bangku panjang yang letaknya tidak jauh dari sana.
"Cemburu? Ngapain, dah? Mereka kan cuma temenan. Best friend forever, kayak lagunya chibi-chibi." Ia bersandar santai, memperhatikan Helen yang sedang berjalan ke arahnya.
Helen lantas duduk di sampingnya. Menundukkan pandangan sebelum tiba-tiba terdengar kekehan kecil ketika gadis itu mengamati sesuatu yang ada di tangan Late.
"Lo kenapa, woy? Jangan stres cuma gara-gara cinta elaaaah. Masa depan kita sebagai penerus bangsa masih panjang." Late mengerutkan dahinya, bingung.
"Katanya nggak cemburu? Nggak kepikiran liat Vanila sama Lian yang deket lagi?"
Late mengangguk-angguk, membenarkan pernyataan gadis itu.
"Tapi lo bahkan salah pesen minuman." Telunjuk Helen teracung ke gelas bening di tangan Late. "Lo itu kan mau kasih minum buat orang sakit, bukannya buat orang yang abis olahraga. Ngapain beli es teh?"
Late memberengut, tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya.
"Tapi ya Lat, gue jadi kepikiran sama omongan lo tadi." Ucapan Helen membuat Late sontak menoleh ke arahnya. "Mungkin Brilian cuma pura-pura pingsan."
Gelas berisi es teh itu diseruput Late sampai tersisa setengah. Daripada mubadzir, mending diminum sendiri.
"Tumben lo bisa berpikiran negatif ke orang lain?" tanya cowok itu penasaran, meminta penjelasan dari ucapan Helen.
"Bukannya gue mau nuduh atau berprasangka yang enggak-enggak, sih. Tapi menurut gue, kalo kita udah memikirkan kemungkinan buruk yang terjadi, rasanya lebih gampang nerima kenyataan yang mungkin, jatuhnya bakal sama dengan apa yang kita pikirin sebelumnya." Helen mencoba bernegosiasi dengan dirinya sendiri.
Gadis itu beranjak dari duduknya sembari menunduk menatap Late. "Gue pengen semuanya kembali seperti semula. Tapi gue bingung, gimana caranya mengakhiri segala kerumitan ini, tanpa ada satu pun pihak yang ngerasa tersakiti."
"Len!"
Vanila memanggilnya dari ambang pintu UKS. Ia melambai-lambai, meminta Helen menghampirinya. Setelah gadis itu menjauhi kursi, Vanila baru menyadari jika Late sedang duduk di sana sembari memainkan ponsel.
"Heh, Lalat! Lo ngapain semedi sendiri di sini?" Vanila menyilangkan kakinya. Duduk di sebelah cowok itu sembari melipat tangan di depan dada. "Gue suruh nyari Bu Karin, malah mainan hp."
"Gue nggak ketemu Bu Karin, nemunya Bu Kantin." Late menanggapi dengan jawaban random.
Semilir angin menjadi saksi bisu kecanggungan sepasang remaja itu. Vanila tampak cemas, gelisah, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Sedangkan Late yang sibuk dengan ponselnya, juga tak tahu harus bersikap seperti apa setelah melihat keakraban Vanila dan Brilian.
"Lat, gimana kalo buat sementara waktu, kita backstreet dulu?"
Ucapan Vanila membuat jari-jemari Late yang bermain di atas ponselnya seketika terhenti.
"Backstreet dari Mama lo?" tanyanya, tanpa melepaskan tatapan dari ponsel meski ia sudah tidak berminat memainkan ponselnya. Ia hanya tidak sanggup menatap Vanila di saat suasana hatinya sedang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...