Jika tahu akhirnya seperti ini, lebih baik kita menjadi sepasang orang asing saja daripada bersahabat tapi saling menyakiti.***
Vanila tampak kebingungan sendiri di depan aula. Kursi-kursi pengunjung memenuhi sisi depan aula. Dan sialnya, semua kursi telah terisi.
Kalau ingin melihat peserta lebih dekat, Vanila harus melewati deretan kursi-kursi itu untuk dapat sampai ke depan panggung.
"Ah, sial!" decak Vanila lalu mengambil jalur lain.
Ia melenggang ke sisi belakang panggung, namun sosok security bertubuh tegap menghadangnya.
"Saya mau ketemu Helen, Pak. Sebentaaaar aja..." Vanila mengatupkan sepasang tangannya di depan wajah.
Berusaha menunjukkan wajah imut yang dibuat-buat. Meski tahu usahanya akan berakhir sia-sia, karena ia dilahirkan dengan muka judes auto tampol.
Security bernama Awan itu mengerutkan dahinya. "Tunggu sebentar di sini."
Lalu ia melenggang masuk menghampiri panitia acara yang ada di dekatnya.
Sekitar lima menit menunggu, Helen akhirnya muncul ditemani salah satu panitia.
"Saya tinggal bentar ya, Kak." Panitia itu sempat melempar senyum ramah pada Vanila sebelum kembali ke tempatnya semula.
"Loh, Van. Lo bukannya ada lomba lari, ya?" Helen membulatkan mata.
Terkejut karena Vanila muncul di tengah-tengah acara berlangsung.
"Udah selesai? Menang nggak?"Vanila mengibas-ngibaskan kepalanya. "Itu nggak penting, Len. Sekarang lo ikut gue, ya."
Helen menahan tubuhnya yang ditarik Vanila dengan agak kasar. "Kemana? Bentar lagi giliran aku yang tampil."
"Gue.. gue nggak mau lo malu lagi," tukas Vanila mulai jujur, hingga membuat tatapan Helen mendadak sendu. Ia menarik Helen ke salah satu sudut aula yang sedikit lengang. "Bukan.. maksudnya bukan karena gue ngeremehin lo, Len."
Helen terpaku sejenak lalu menatap Vanila dengan berkaca-kaca. "Maksud lo, gue nggak akan pernah berhasil ikut lomba modelling kayak gini?"
"Eh, nggak gitu juga." Vanila menggaruk tengkuknya. Bingung harus menjelaskan dengan cara apa. "Udah nggak usah banyak omong, lo ikut gue aja sekarang!"
Vanila mulai tak sabar. Tanpa sadar, ia pun membentak Helen yang hanya bisa mematung di tempatnya.
"Cukup, Van!"
Sebuah seruan menahan langkah Vanila. Kedua gadis itu mematung, menanti reaksi dari si pemilik suara.
"Brilian..." Helen mengeja nama kekasihnya itu dengan suara parau.
"Gue nyesel karena hampir aja nurutin apa kata lo, Len." Brilian melangkah menghampiri kedua sahabatnya. "Tadi pagi Helen minta gue buat nemenin lo di event lari itu, Van."
Seperti sudah muak melihat tingkah Vanila, Brilian pun enggan menatap gadis itu.
"Lo nyusulin gue ke tempat event lari?" tanya Vanila ragu-ragu.
Brilian mendengkus. Terbesit penyesalan di hatinya. "Awalnya iya. Pas udah sampe tengah jalan, gue puter balik. Perasaan gue nggak enak. Dan ternyata bener dugaan gue."
Mulai merasa dipojokkan, Vanila mendongak menantang Brilian. "Apa?"
"Barusan lo maksa Helen buat ngundurin diri dari acara ini? Lo bahkan nggak tahu kalo dia udah berjuang keras latihan setiap hari Van," ucap Birilian panjang lebar seperti tak memedulikan perasaan Vanila.
KAMU SEDANG MEMBACA
VaniLate (SELESAI)
Teen FictionKisah lain di SMA Rising Dream Apa pun yang keluar dari mulut Vanila ketika marah, bukan hanya sekedar sumpah serapah, tapi secara ajaib akan menjelma menjadi sebuah musibah. Bukan cuma membuat apes korbannya, bahkan beberapa orang terdekatnya pun c...