Chapter 37

11.2K 291 6
                                    

Aland berlari di lorong rumah sakit bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka melihat teman-temannya juga adiknya sudah menunggu di ruang tunggu di depan ruang ICU.

Ceklek

Pintu ruang ICU terbuka menampakkan Aldrich juga Farrel dengan mata yang sedikit sembab. Lavina? Di rumah mungkin.

Aland berdiri lalu mencium punggung tangan Aldrich.

"Pak Jaya," sapa Aldrich. Jaya tersenyum pada Aldrich lalu bersalaman layaknya laki laki.

"Bagaimana keadaan Ferra?" tanya Jaya.

Aldrich menggeleng lemah.

"Belum ada perkembangan," ujar Aldrich berusaha tegar.

"Jangan patah semangat, kita doain anak kamu supaya cepet sembuh," ujar Jaya berusaha menguatkan Aldrich.

"Pasti. Makasih."

"Om, Aland boleh masuk?" tanya Aland pada Aldrich.

Aldrich mengangguk mantap, tanpa pikir panjang, Aland masuk, namun sebelumnya ia memakai pakaian khas rumah sakit. Ferra nya masih memejamkan matanya dengan selang oksigen di hidungnya. Aland berjalan menghampiri brankar Ferra, diusapnya lembut pucuk kepala Ferra, sesekali Aland mencium kening Ferra, beralih mencium punggung tangan Ferra.

Aland merasa dirinya tidak gentle sebagai seorang laki-laki. Buktinya saat Ferra sadar, ia tidak berani mencium kening maupun punggung tangannya. Sedangkan saat Ferra tidak sadar, ia berani melakukannya.

Air mata Aland kembali menetes. Ia akan menjadi sosok paling lemah jika orang yang dia sayang terbaring lemah seperti ini. Ini adalah salah satu kelemahannya.

Aurel. Aland membenci nama itu. Aland benci dengan pemilik nama itu. Aurel telah membuat kekasihnya seperti ini. Apa salah Ferra? Apa ini ada sangkut pautnya dengan masa lalu mereka? Kalau memang ini menyangkut masa lalu mereka berdua, kenapa Ferra yang menjadi sasarannya?

Aurel sekarang sudah berada di balik jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Ferra. Aurel sudah kelewatan. Untung saja Ferra tidak pergi meninggalkannya untuk selamanya. Kalau sampai terjadi sesuatu terhadap kekasihnya itu. Aland bersumpah tidak akan mengampuni Aurel. Tidak peduli jika Aurel adalah perempuan. Ini sudah benar benar kelewat batas.

"Hai. Ini aku," sapa Aland.

Tidak ada sahutan dari Ferra. Hanya ada suara EkG yang berbunyi.

"Kok kamu belum bangun sih? Kamu nggak kangen sama aku? Aku kangen loh sama kamu. Bahkan banget." Aland tertawa sumbang.

"Kamu suka sama es krim kan? Aku janji kalo kamu udah bangun, aku bakal beliin es krim buat kamu, berapa pun yang kamu mau, aku bakal beliin. Tapi nanti, kalo kamu benar-benar sembuh."

"Kamu tau nggak? setiap hari aku males buat berangkat sekolah. Kalo bukan karena orang tua aku sama orang tua kamu, aku nggak bakal pergi ke sekolah, abisnya nggak ada kamu, semuanya sepi. Hehe."

"Terus kalo aku bantah omongan orang tua kamu, bisa bisa aku dipecat jadi pacar kamu. Nanti kamu nikahnya sama yang lain. Kan aku nya sedih. Hehe."

"Kamu bangun yah, semuanya nunggu kamu di luar, kamu nggak kasian liat mereka sedih ngeliat kamu kayak gini? Kamu sayang kan sama mereka? Kamu pasti nggak akan biarin orang-orang yang kamu sayang nangis kan? Maka dari itu kamu harus bangun." Aland mengusap kasar air matanya.

"Fer. Ini aku nangis loh. Kamu nggak mau ngusap air mata aku?"

Aland kembali mengeluarkan air mata, biarkan Aland menangis sehari ini. Ini berat bagi seorang Aland yang notabene nya adalah kekasih Ferra.

"Atau aku bantu kamu ngusap air mata aku aja ya. Hehe. Aku bantu ya?"

Aland menarik tangan kanan Ferra yang tidak di infus, dituntunnya telapak tangan Ferra untuk mengusap air mata Aland. Aland mengecup lembut punggung tangan Ferra yang digunakan untuk menghapus air mata Aland tadi. Tanpa Aland sadari teman-teman dan kedua orang tuanya dengan kedua orang tua Ferra menatap Aland sendu dari balik pintu.

"Aku sayang banget sama kamu, aku cinta banget sama kamu. I love you. I miss you so much."

Aland berkali kali mengecup punggung tangan Ferra.

Tinnn tinnn

Suara EkG begitu nyaring, garis di sana berubah menjadi lurus. Aland panik bukan main. Ia langsung memencet tombol darurat dekat brankar, dokter dengan beberapa suster di belakangnya mulai memeriksa Ferra. Tapi sebelumnya, Aland keluar membiarkan dokter melakukan tugasnya.

Dokter tersebut menggeleng lemah lalu keluar menemui keluarga pasien.

Ceklek

"Gimana putri saya dok?" tanya Lavina antusias setelah dokter keluar dari ruang ICU.

"Maaf sebelumnya, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tuhan berkehendak lain."

"Maksud dokter apa hah?!" bentak Farrel menarik kerah dokter tersebut.

Lutut mereka terasa lemas mendengar kenyataan bahwa Ferra sudah tiada. Meninggalkan mereka. Meninggalkan dunia untuk selamanya.

"Nggak. ini nggak mungkin," dingin Aland namun air matanya mengalir deras di pipinya.

Aland langsung menerobos masuk ke dalam ruangan dan langsung memeluk tubuh mungil Ferra. Ini semua terlalu cepat untuknya. Ferra nya sudah tiada, Ferra nya sudah meninggalkannya. Hari hari yang biasa bersama Ferra akan menjadi kenangan semata. Apa itu artinya setelah ini Aland akan menjalani hari harinya tanpa Ferra, penyemangatnya?

Yang lain mulai memasuki ruangan Ferra tanpa mengenakan pakaian khusus. Para suster sudah bersiap untuk melepas semua peralatan yang melekat pada tubuh Ferra. Namun Aland mencegahnya.

"Jangan berani lo semua lepas alat alat ini. Ferra masih hidup, gue yakin Ferra masih hidup. Ferra belum meninggal!" bentak Aland diiringi dengan isakannya.

Lavina menangis histeris di pelukan suaminya. Farrel terduduk lemas sambil menjambak rambutnya kuat kuat. Adiknya meninggalkannya secepat ini? Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak.

Belva sudah menangis tersedu-sedu di pelukan Alura yang juga ikut menangis. Aleta menangis di dada bidang Vano. Sedangkan Akmal menyenderkan tubuhnya di dinding sambil memejamkan matanya. Walaupun matanya terpejam, Akmal tetap mengeluarkan air matanya.

Akmal akan merindukan Ferra. Ferra yang selalu adu mulut dengannya. Kini tidak ada lagi teman yang bisa ia ajak untuk bertengkar.

"Ferra. Bangun, lo becanda kan? Becanda lo nggak lucu Fer. Lo keterlaluan. Katanya sayang sama gue. Bangun Fer bangun?!" isak Aland sambil mengguncang tubuh mungil Ferra.

"Land. Ini semua udah takdir. Kamu harus ikhlasin Ferra. Biarin dia tenang di sana," ujar Jaya berusaha menguatkan putranya.

Marizta? Ia juga menangis. Ia tidak menyangka, rasanya baru kemarin Ferra berkunjung ke rumahnya. Mengobrol berdua dengannya. Memasak bersama dengannya. Kini sudah meninggalkannya. Meninggalkan semuanya.

Hari-hari mereka yang mereka jalani bersama Ferra tidak akan ada lagi. Pelangi dalam kehidupan mereka seakan hilang. Ini semua seakan mimpi. Semuanya terjadi begitu cepat. Kini mereka harus terbiasa menjalani kehidupan mereka tanpa adanya sosok Ferra.

Seperti bunga. Bunga akan sempurna jika semua anggotanya lengkap, namun ketika hilang salah satu anggota tubuh bunga, kata sempurna tidak lagi tepat untuk menamakan sisi bunga.

Begitu juga dengan pertemanan mereka, anggotanya telah tiada satu, ini tidak akan sempurna tanpa adanya sosok Ferra.

TBC!!
Start From You
By. arbung_

Start From You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang