Chapter 53

9.8K 232 2
                                    

Hari ini, Aland berangkat ke Australia untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Saat ini, Ferra tengah bersiap-siap untuk pergi ke bandara. Sebenarnya, ia tidak ingin ikut ke bandara, karena ia takut air matanya akan tumpah dengan sendirinya di sana.

Namun, setelah beberapa kali ia mempertimbangkannya, akhirnya ia memutuskan untuk ikut ke bandara, ia akan menahan sekuat tenaganya, agar air matanya tidak turun untuk seharian ini, ia sudah lelah menangis semalaman.

Ia ingin memberikan senyuman terbaiknya untuk Aland, meyakinkan Aland bahwa dirinya baik-baik saja. Ferra ingin memberikan semangat untuk kekasihnya.

"Fer, cepetan. Ntar telat tau rasa lo!" teriak Farrel dari bawah.

Ferra menghembuskan nafas berat, sebelum akhirnya ia mengatakan "Iya, Bang. Bentar lagi gue turun".

Ferra menghela nafas gusar lalu setelahnya ia turun menemui abangnya untuk berangkat bersama menuju bandara.

Setelah sampai di sana, ternyata semua teman-temannya sudah berada di bandara tersebut. Namun, Ferra tak langsung menghampiri semuanya, justru ia izin pergi ke toilet sebentar, menetralkan nafasnya, menyiapkan mentalnya untuk bertemu dengan kekasihnya sebelum berpisah.

"Ferra di sini ko, dia tadi ke toilet," ujar Farrel yang mengerti gelagat Aland sedang mencari adiknya. Aland bernafas lega mendengarnya.

Setelah keluar dari toilet, Ferra berjalan menghampiri semuanya lalu berdiri tepat di belakang Aland.

"Hm," deham Ferra. Aland yang mendengarnya langsung menoleh ke belakang, di sana Aland mendapati kekasihnya yang sedang menunjukkan cengirannya.

"Hai!" sapa Ferra tetap mempertahankan cengirannya.

Mata Ferra berbinar menangkap sesuatu di pergelangan tangan Aland. Dia langsung berteriak histeris melihatnya. Aland yang melihat binar tersebut di mata Ferra langsung memusut pelan pucuk kepala Ferra.

"Aland, kamu siap-siap gih, bentar lagi pesawatnya take off," ujar Marizta.

Aland mengangguk mantap, matanya tertuju pada Ferra yang sekarang tatapannya berubah menjadi sendu.

Bibirnya memang melengkung, membentuk senyuman tapi Aland tau makna dari senyuman yang gadis itu paksakan.

Dengan segera, Aland membawa Ferra ke dalam dekapannya. Merengkuh tubuh mungil Ferra, menyalurkan perasaan mereka lewat pelukan itu. Air mata Ferra meluncur dengan sendirinya, merembes di baju Aland. Aland tahu kekasihnya sedang menangis.

Ia membiarkan Ferra menumpahkan tangisnya, ia tahu bagaimana perasaan Ferra. Kalau boleh jujur, ia juga tidak mau berbeda negara dengan Ferra. Tapi bagaimanapun, ia harus melanjutkan pendidikannya. Ia janji, ia akan melamar Ferra secara resmi setelah ia kembali ke Indonesia lagi.

"Jangan nangis, gue janji gue bakal tetep sayang sama lo. I love you," bisik Aland.

"I love you too," balas Ferra semakin mengeratkan pelukannya.

"Kalau udah sampai jangan lupa kabarin aku," isak Ferra membuat Aland mengangguk mantap.

Semua temannya juga orang tua Aland terharu dengan pemandangan di depan. Sampai sampai, Farrel sempat memotret moment tersebut menggunakan kamera yang sempat ia bawa.

Hingga akhirnya, Aland tak lagi nampak di hadapan mereka semua. Mereka semua pun mulai meninggalkan bandara untuk ke rumah masing-masing.

¤¤¤¤¤

Malam tiba, hembusan angin dingin menembus kulit Ferra yang sedang berdiri menatap bintang-bintang di balkon kamarnya. Sesekali ia menatap ponsel yang sedari tadi ia genggam, menunggu pesan atau panggilan dari seseorang yang membuat dirinya tau apa itu cinta. Seseorang yang membuatnya seakan menjadi orang yang paling beruntung. Seseorang itu adalah Aland.

Tok tok tok

Pintu kamar Ferra berbunyi, menandakan ada seseorang di baliknya yang tentu saja ingin menemuinya.

"Masuk!" balas Ferra.

Ferra terkejut, sebab seseorang yang tadi mengetuk pintunya itu langsung membalikkan tubuh Ferra kemudian memeluknya. Dia tau keadaan hati adiknya itu.

Tanpa melihat wajah seseorang itu pun Ferra sudah mengetahuinya melalui bau parfum yang sudah menjadi aroma khasnya. Ferra langsung saja melingkarkan tangannya di pinggang Farrel, membalas pelukannya dengan begitu erat, menumpahkan air matanya di dada bidang Farrel.

Dengan sigap, tangannya terulur untuk mengusap pucuk kepala adiknya dengan sayang. Menyalurkan kekuatan agar ia tidak terus memikirkan Aland.

"Jangan sedih terus," bisik Farrel.

"Kak Aland masih lama ya pulangnya?" lirih Ferra menatap wajah tampan Farrel membuatnya terkekeh.

"Ada ada aja lo, belum ada sehari dia ninggalin kita. Udah kangen aja lo." Tawa Farrel meledak sambil memegangi perutnya.

Ferra mengerucutkan bibirnya, "Abang ih. Ngeselin!" rajuk Ferra membuat tawa Farrel semakin meledak.

Ferra menarik dirinya dari dekapan Farrel, tangan kanannya memungut bantal yang berada di sekitarnya lalu memukulkannya pada laki-laki itu.

Setelah menghujani pukulan menggunakan bantal pada Farrel, Ferra langsung mendorongnya keluar kamar kemudian menutup pintu dengan keras.

"HATI'HATI DI SITU ADA SOSOK TAK KASAT MATA!" teriak Farrel membuat langkah Ferra menuju kasur terhenti seketika.

"ABANG! AWAS AJA LO!" balas Ferra tak kalah nyaring.

Ceklek

"APA LAGI SIH -

"Eh mamah, ngapain mah?" tanya Ferra menunjukkan deretan giginya yang putih.

"Kamu bilang ngapain? Ngapain mamah ke sini? Hello? You know ini jam berapa?" tanya Lavina. Ferra mengangguk dengan tampang watadosnya.

"Jam sembilan mah."

"Maka dari itu, kenapa teriak-teriak? Di kira ini di hutan apa ya?" kesal Lavina.

"Abang yang mulai Mah," rengek Ferra.

"Enak ajah lo nyalain gue," timpal Farrel yang tiba-tiba muncul di belakang Lavina.

Ferra membulatkan matanya, apa-apaan Farrel ini? Kenapa dia tidak terima jika dirinya disalahkan.

"Sudah sudah, mamah nggak mau denger lagi ocehan kalian berdua. Berisik tau nggak sih!" kesal Lavina.

"Tidur!" teriak Lavina membuat kedua anaknya menutup telinganya rapat-rapat.

"Mamah sendiri aja teriak kok," timpal Ferra.

"Ferra, lo itu ... "

Ucapan Lavina terhenti ketika Aldrich ikut masuk ke dalam kamar milik Ferra.

"Mamah udah dibilangin jangan pake lo-gue masih aja gitu!" peringat Aldrich membuat Lavina menyengir kuda.

"Udah sekarang, Ferra tidur, mamah juga dan kamu juga tidur Farrel!" tegas Aldrich sambil menyeret kerah Farrel keluar kamar Ferra. Ferra terkikik geli melihat raut wajah Farrel yang ditekuk.

Ferra merebahkan dirinya di kasur kesayangannya, memejamkan matanya untuk menetralkan pikirannya yang sedari tadi terus tertuju pada Aland.

Tanpa sadar, ia menarik bibirnya ke atas membentuk senyuman manisnya. Ia memang sedih, karena sekarang ia dengan Aland harus berpisah negara, dan ia harus menunggunya selama sekitar 5 tahun.

Ia memang sedih, namun ia berusaha menampis kesedihan itu. Ia berfikir, masih banyak orang diluaran sana yang kehilangan sosok yang mereka sayang, masih ada orang diluaran sana yang hidup tanpa seorang ayah atau ibu, atau bahkan ada anak yang hidup hanya sebatang kara saja. Dia harus berusaha bahagia, tidak membiarkan air matanya jatuh begitu saja.

Bahkan terkadang, Ferra berfikir ia menjadi seseorang yang beruntung. Ia hidup di tengah orang yang sangat menyayanginya. Maka dari itu, mulai sekarang, sebisa mungkin ia akan mengurangi jatuhnya air mata dan menambah rasa kebahagiaan di hatinya.

TBC!!
Start From You
By. Arindabm

Start From You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang