PROLOG

16.9K 408 28
                                    


Arloji di tangan kiriku memperlihatkan pukul 05.03 sore, hembusan angin pun semakin terasa di kulitku.

Panas matahari sedikit tergantikan oleh dinginnya angin. Awanpun sedikit berubah warna menjadi jingga.

Aku merentangkan tanganku, memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Melihat air yang sedang menari di bawah.

Lalu melihat burung yang terbang di atas sana, pandanganku kembali ke arah bawah. Melihat ukiran-ukiran air yang sangat indah sore ini.


"Mereka masih marah?" tanya seseorang yang tiba-tiba ada disampingku.

Kepalaku menggeleng.

"Masih mikirin dia?" tanyanya lagi.

Lantas kepalaku menggeleng kembali.

"Sekarang irit ngomong yah." Ucapnya yang sambil menatapku.

Aku menggeleng dengan tegas, tak membenarkan perkataannya. Arah pandangku masih melihat pantai dari atas bukit ini tanpa melihat kearahnya.

"Kalau gak ngirit ngomong kenapa dari tadi gak mau bales ucapan kakak." Ucapnya.

"Lagi males." Kataku yang kini bersuara.

"Yakin gak mau ngambil kuliah di luar?" tanyanya.

Jantungku seakan berdetak kencang entah kenapa. Padahal orang disebelahku ini hanya bertanya tentang kuliah di luar negeri.

"Hem." Sahutku.

"Yang dipikirin anak luar negeri kenapa kamu larinya ke Bandung?"

"Bawel." Jawabku santai.

"Nyesel yah?"

Helaan napasku keluar begitu saja. "Gak nyesel." Sahutku.

"Terus." Timpalnya.

"Takut persahabatan kita renggang aja."

"Yakin deh, dia itu orangnya dewasa." Ungkapnya. "Kamu pasti lebih tahu pemikiran dia gimana." Lanjutnya lagi.

"Menurut kakak dia bakal marah atau cuek waktu kita ketemu lagi?" tanyaku kepada dia.

"Gak ada kemungkinan yang lain nih?" tanyanya balik.

"Apa?"

"Misalnya kemungkinan dia juga punya perasaan sama kaya kamu." Jawabnya.

"Kemungkinannya hanya 0.001%." ungkapku.

"Kecil sih tapi itu bisa aja terjadi."

"Gak terlalu berharap lebih." Kataku dengan nada tenang.

"Yang penting dia masih sabat kamu, itu yang kamu harapin pertama kali." Sahutnya.

Aku mengangguk setuju dengan tatapan terus melihat ke lepas pantai.

"Gimana satu tahun lagi di lewatin tanpa dia?"

"Cukup gak bisa bikin hati tenang." Jawabku jujur.

"Kenapa?"

"Gak tau, susah buat dijelasin." Ungkapku.

"Yakin cuma itu aja?"

"Astaga, kakak tau gak sih aku itu kaya orang bodoh. Udah tau dia punya pacar ngapain pake jujur segala sama dia." Kataku meluapkan isi hati.

"Salah kamu juga sih." Ucapnya santai.

"Iya tau." Sahutku.

"Tapi satu tahun ini kamu berubah banyak sih." Ucapnya. "Kamu lebih ada batas jarak sama semua orang, tapi yang lebih jelas sama laki-laki." Lanjutnya lagi.

"Hem."

Dia menghela napas panjang. "Makan dulu gih sana. Kamu belum makan siang tadi." Perintahnya.

"Masih kenyang." Tolakku singkat dan padat.

Lagi dan lagi dia menghela napas. "Keras kepalanya masih belum ilang yah." Sahutnya dengan nada sedikit kesal.

"Itu tau." Kataku. "Yang lain pada kemana?" lanjutku bertanya.

"Itu di pantai mereka nungguin kamu turun." Jawabnya.

Aku melihat keberbagai sisi pantai ternyata mereka sedang asik memandangi lukisan Sang Pencipta yang sungguh sangat indah.

"Seneng bisa ngeliat mereka happy." Ungkapku.

"Ini acara liburan kamu sama tuh dua anak habis lulus SMA. Seharusnya kamu juga ikut seneng dong kaya mereka."

"Lihat mereka bahagia kaya sekarang aja udah lebih dari cukup kok." Kataku.

"Ya terserah kamu deh, Git." Ujarnya. "Kenapa mau cepet-cepet lulus? Seharusnya kan tahun ini kamu naik kelas 12 bukannya malah ikut lulus bareng mereka." Lanjutnya lagi.

"Karena aku janji sama diriku sendiri."

"Janji buat?"

"Buat gak bikin malu mereka lagi. Waktu aku masuk kelas 10 seharusnya aku memang udah kelas 11. Jadi aku bayar semua itu di tahun ini untuk lompat kelas." Jelasku kepadanya.

"Gak pusing belajar ekstra untuk itu semua?"

"Pusing? Pasti. Cape? Jangan ditanya lagi." Jawabku dengan santai.

"Terus?"

"Semuanya ilang ketika ngeliat orangtuaku bahagia."

"Kamu terlalu pemikir keras yah Git." Ujarnya tak kalah santai.

"Yah memang begitu."

Dia seperti melambaikan tangannya ke arah mereka. "Kamu gak mau ikut main ke bawah bareng mereka?" tanyanya.

"Enggak. Kalau mau pulang ke penginapan, pulang duluan aja. Aku lagi pengin disini dulu." Kataku yang sama sekali belum memandangnya.

Tanpa berucap apa pun, dia beranjak dari tempatnya. Aku hanya melihatnya ketika dia sampai di bawah bersama teman-temannya.

Semua melihat ke arahku, lantas aku tersenyum dan melambaikan tangan. Setelahnya mereka beranjak pergi.

Beberapa menit aku masih menatap lurus kedepan. Lalu membuka ponselku dan tersenyum tipis.

Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang