Part 45

2.3K 99 17
                                        



Kakiku memasuki rumah dengan perlahan, nemun aku berhenti sejenak ketika ada suara keributan di dalam sana. Tadinya aku hanya diam seakan tubuhku beku begitu saja di malam hari seperti ini.

Namun entah keberanian dari mana yang aku dapat, justru aku medekatkan kakiku kearah pintu. Hinga suara yang tadinya samar-samar perlahan berubah dengan begitu jelas dapat aku dengar. Aku bahkan dapat menebak suara siapa saja yang berada dalam rumahku kini.


Ya, Pradipta Bagaskhara. Aku tahu sekarang, kenapa dia mengirimkan sebuah pesan dengan menanyakan 'lagi dimana?' seharusnya tadi aku langsung pulang saja, seharusnya tadi aku tak pergi lagi, seharusnya aku... yah mau bagaimana lagi jika semua itu hanyalah seandainya.


"Maaf Om, Tante. Bukannya saya menggurui, tapi pada kenyataannya memang kalian tak pernah bertanya kepada Gita." Ungkapnya. "Bahkan kalian gak tahu jika anak kalian jiwanya sedang tak stabil." Timpal seseorang.

"Saya juga disini sebagai orangtua dari sahabat Gita yaitu Pradipta Bagaskhara." Kemudian dia melanjutkannya lagi. "Dan saya adalah psikolog yang menangani Gita sedari awal dia berada di titik paling bawah." Lanjutnya.

"Adi bahkan gak habis pikir sama Om dan Tante. Adi tahu kalian kecewa dengan kebohongan yang Gita perbuat. Tapi apa kalian gak mikir kalau anak kalian lebih terpuruk karena kesalahannya itu." Ungkap Adi dengan suara yang tegas.

"Kalian bahkan gak tahu, jika Gita belajar mati-matian untuk mendapat nilai yang sempurna di jurusan IPS. Padahal kemampuan dia sebenarnya di IPA bukan di IPS." Adi mencoba terlihat santai di depan orang tuaku.

Kemudian dia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Bahkan demi kalian gak kecewa lagi, Gita sampai belajar materi kelas 12. Padahal dia masih kelas 10." Adi memejamkan matanya untuk mengontrol emosi.

"Kalian tahu kenapa dia sampai belajar hingga materi kelas 12. Karena dia mau lompat kelas ketika masuk sekolah nanti. Biar tahun depan dia lulus yang artinya dia lulus bersamaan dengan teman-temannya dari sekolah yang dulu."

Tangan Adi di pegang oleh Ibunya agar tak melanjutkan perkataan selanjutnya. "Kalian tahu maksud dari perkataan anak saya?" tanyanya. Sedangkan yang ditanya hanya diam seribu bahasa. "Gita mau biar kalian gak kecewa karena seharusnya sekarang dia kelas naik kelas 12 bukannya malah naik kelas 11." Lanjut Ibu Adi.

Ayahku menghela napas sejenak sebelum membuka suaranya. "Saya tahu, bahkan saya sangat tahu jika kesalahan yang diperbuat Gita bukan hanya kesalahan dirinya. Melainkan kesalahan dari orangtuanya juga." Ucap Ayah.

"Lantas jika kalian tahu kenapa selalu menyudutkan Gita yang seolah-seolah sepenuhnya kesalahan dia?" tanya Adi yang begitu dingin. "Saya hanya tak tahu bagaimana caranya memberi tahu istri saya jika dia juga ikut adil dalam masalah ini." Ujar Ayah.

"Dia yang hanya melihat Gita dengan segudang kekecewaan tanpa ingin mengaca bahwa dirinya lah yang membat Gita seperti itu dengan setumpuk tuntutan yang harus Gita taati." Jelas Ayah. "Dan saya sangat sadar jika saya juga salah ketika masa kecil dia selalu saya marahi karena nilai pelajarannya yang jelek." Lanjutnya.


Aku tak tahan mendengar semua itu dengan tubuh yang sudah terduduk di atas lantai. Aku langsung menutup kupingku dengan kedua tangan, berharap agar aku tak dapat mendengar perkataan mereka lagi.

Tapi rasanya tetap menyakitkan dengan air mata yang sudah membendung agar tak tumpah begitu saja. Namun mau bagiamana pun akhirnya aku tetap menangis dengan rasa sakit yang begitu terasa di dalam hati.

Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang