Part 6

4.2K 169 20
                                    

-Dia masih berharap lebih?-



Arloji milikku menunjukkan pukul 04.39 sore. Yang artinya sudah beberapa jam aku berkutat menyelesaikan hukumanku. Namun tidak seperti hukuman, aku selalu menikmati setiap detik kesibukkanku.

Setelah dirasa sudah cukup semua aku mengetik dengan beberapa page di dalamnya.

Setelah mematikan leptop dan menaruhnya di dalam tas. Aku langsung melirik ke arah Bayu.

"Kak." Kataku yang berusaha membangunkannya.

"Kak Bayu bangun." Lanjutku sedikit berteriak.

Tak lama dia pun menggeliat lalu membuka mata perlahan. Dia mengedarkan pandangan lalu menatapku dengan intes.

"Jam berapa sekarang?" tanya Bayu yang mulai menegakkan posisinya.

"Jam 5 kurang." Kataku santai sambil memainkan ponsel.

"Lah udah sore aja. Ya udah hayyu pulang." Perintahnya yang langsung berdiri.

"Bentar lagi mau pesen ojek dulu." Jawabku

"Gak usah." Ucapnya langsung menarik ponselku. "Pulang bareng kakak aja." Lanjutnya yang langsung mengembalikan hpku.

"Lagi gak pengin di bully sama penggemar kakak." Ucapku santai dengan senyum diakhir kalimat. Bertanda kalau aku menolaknya.

"Bukannya tiap ada yang bully kamu, malah seringnya kamu gertak balik yah." Jawab Bayu santai.

"Lagi males kak." Elakku dengan santai.

"Good, tapi kakak gak nerima kata penolakan. Jadi, tetep kamu pulang bareng kakak." Katanya lalu menariku menuju parkiran sekolah.

Di sekolah belum sepenuhnya sepi karena masih ada beberapa anak yang baru saja selesai eskul. Jadi, masih ada beberapa orang yang dengan sangaja memperhatikan aku bersama Bayu.


"Nih pake helmnya." Katanya.

"Tumben bawa helm dua?" tanyaku penasaran yang masih memaikan helm dikepalaku.

"Buat jaga-jaga aja kalau pulang bareng kamu." Ucapnya santai. Lalu menikkan motor ninja berwarna hijaunya.

"Ayo naik." Lanjutnya yang sudah menyalakan mesin motor.

"Iya." Kataku yang langsung menuruti permintaannya.


Motor hijaunya melaju begitu saja membelah jalanan sore yang sangat begitu macet karena bersamaan dengan jam pulang kantor.

Setelah 30 menit berkutat menatap jalanan yang macet akhirnya motor hijaunya dapat keluar dari kemacetan hingga akhirnya tiba di depan rumah yang tak begitu besar dan megah karena aku memang dari keluarga yang biasa dan sederhana.

"Thanks udah nganter pulang." Kataku yang turun dari motornya.

Aku langsung melepas helm dan memberikannya kepada sang pemilik.

Tapi sesaat dia tak menerima helm itu, justru hanya melihat kearah helm lalu menatap tepat ke arah mataku. Tak lama dia membuka helm full face-nya.

"Boleh aku terus nunggu?" katanya yang masih menatap kearahku.

Aku tau arah pembicaraannya sedang ada dimana. Jelas aku tahu sangat begitu jelas.

"Kak berapa kali aku bilang, please jangan nunggu terlalu lama." Ucapku yang menghembuskan napas kasar.

"Git..." katanya lirih.

"Kak please kak. Kakak tahu hidup aku sehitam putih apa kan. Please jangan nunggu lagi, karena aku yakin di luar sana..."

"Shit... Kalahin aku besok lewat latihan separing seperti biasa." Ucapnya yang memotong kataku.

"Dan kakak selahu tahu kalau aku  selalu bisa ngalahin kakak." Ucapku datar.

"Itu tahu." Katanya tersenyum lalu mengusap kepalaku dan mengambil helm yang aku pegang sedari tadi.

"Ya udah masuk gih. Udah mau magrib." Lanjutnya yang langsung memakai helmnya kembali.

"Hem." Kataku lalu berjalan ke dalam rumah.



Kaki ini mendadak berhenti karena melihat ada sepatu yang sering dilihatnya ketika malam hari. Menghela napas sejak, lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam.

"Assalamualaikum, Gita pulang." Ucapku ketika masuk.

"Walaikumsalam." Jawab Alka dan Ayah.

"Kak, aku baru dibeliin mainan dong sama Ayah." Kata Alka yang menatap ke arahku.

"Lebih banyak belajar apa lebih banyak mainnya?" kataku mentap Alka.

"Main." Katanya yang dengan muka cemberutnya.

"Mangkannya kalau belajar tuh gak usah disuruh. Kakak dulu aja gak disuruh belajar malah inisiatif belajar sendiri." Kataku.

"Gita, jangan marahin adik kamu kaya gitu." Teriak Ayah.

"Kenapa gak boleh?" kataku dengan memberanikan diri.

"Adik kamu masih kecil, psikisnya masih rapuh." Jawab Ayah yang masih memeluk Alka.

Aku hanya tersenyum kecut sambil menatap Alka. "Cowok kok cengeng. Dasar MANJA." Kataku menekan akhir kalimatnya.

Hingga akhirnya dia benar-benar nangis dalam pelukan Ayah.

"Gita." Teriak Ayah dengan marah.

Aku menahan egoku lalu berlari naik ke lantai dua dan masuk dalam kamar. Menutup pintunya lalu menguci dari dalam.

Seketika tangisan pecah begitu saja.

"Kamu bego Git, gak becus jadi kakak." Kataku yang masih terisak.

Sesekali memukul tembok kamar hingga lenganku memerah, namun tak ada rasa sakit sedikitpun dari tanganku. Yang merasa sakit justru dari hati yang terus mencekam.

Hingga dalam diam aku memeluk erat, memukul kepalaku sendiri dan menjambak rambutku agar merasakan sakit di tubuhkan. Tapi tetap saja nihil. Rasa sakit yang terusak menyeruak justru terus datang dari dalam hati.



-Jangan lupa tersenyum untuk hari ini-

Yang penting jangan senyum-senyum sendiri di jalan guys, takutnya dikira orgil wkwkw

Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang