Part 41

2.3K 98 6
                                    

-Mau jujur juga berasa percuma-





Ketika kembali lagi ketempat perkemahan, semua yang sudah ada di jadwal terlaksana dengan begitu teratur. Ini jadwal terakhir di tengah malam sebelum nanti pagi akan diakannya upacara penutupan.

Waktu sudah menunjukan pukul 02.18 pagi, tenda sedang sepi dan hanya ada beberapa panitia yang sedang berjaga untuk tugasnya masing-masing.

Di satu titik istirahat, aku duduk di depan tenda yang sudah beralaskan tikar. Entah aku kelelahan atau memang aku yang sudah mengantuk hingga mataku tertutup sempurna. Terlelap dalam dinginnya malam yang begitu menyiksa diri.



Laki-laki yang berdiri beberapa meter meneriaki namaku. "Gita."

Dia panik dan langsung menghampiriku. Sedangkan aku hanya tersenyum ketika melihatnya kini sudah di depanku. "Kenapa sih kak, pake teriak segala." Ucapku.

"Kamu tuh." Katanya dengan wajah begitu datar sambil mengacak-ngacak rambutku.

Aku mencoba berdiri dengan lutut yang sudah lecet. Tapi sayangnya malah terjatuh kembali. Dia berjongkok di depanku, lalu berkata. "Ayo naik."

Melihat itu pun aku hanya menurut, naik dipundaknya seakan-akan membuatku lupa jika kakiku masih lecet dan membuat rasa sakit. Tapi ketika ada di sampingnya, seolah semua rasa itu hilang dalam sekejap.

"Kenapa bisa jatuh?" tanyanya.

"Tadi ngejar kelinci. Aku ngeliat kelinci warna putih, duh imut banget pokoknya."

"Kamu kan udah SMP."

Aku memringkan kepalaku agar dapat melihat raut wajahnya. "Kenapa?" tanyaku.

"Gak jadi." Jawabnya dengan wajah datar. Dia terus berjalan sambil mengendongku dipunggungnya.

"Hayo, khawatir yah sama aku." Ledekku.

Dia mendadak berhenti, raut wajahnya masih datar yang sudah passti aku susah menebaknya. "Khawatir sama aspalnya." Ungkapnya kemudian lanjut berjalan.

"Idih gak mau ngaku. Padahal mah di dalam hatinya lagi khawatir." Ucapku sambil tersenyum bahagia di belakang punggungnya.

"Cieee khawatir cieee." Ledekku sambil mecubiti pipinya dengan gemas.


Kakinya berjalan memasuki rumah, menurunkan aku tepat di ruang keluarga. Aku langsung tidur di atas sofa karena begitu sangat malas untuk membersihkan luka yang ada dilutut.

Namun tiba-tiba ada yang menyentuh luka itu dengan sangat hati-hati. "Aw." Ringisku ketika merasakan perih.

"Diobatin dulu, sebentar." Ucapnya yang dengan telaten mengobati luka dilututku.

Senyumku terbit begitu saja, rasa sperih yang tadinya mendominasi sekarang tidak begitu lagi. Karena aku tak lagi memikirkan perihal soal luka namun memilih menikmati lekukan wajahnya yang begitu menenngkan.

"Ngeliatinnya begitu banget." Katanya sambil melihatku. "Nanti Fikri marah loh." Lanjutnya setelah membersihkan lukaku.

Aku tersenyum jahil kepadanya. "Kan Kak Gara itu sahabatku, jadi Kak Fikri gak akan bisa marah." Ucapku kepadanya.



Jantung ini terasa begitu cepat memompa darah ketika aku terbangun. Aku langsung mengecek ponsel untuk melihat jam dan ternyata aku hanya tertidur kurang dari 1 jam. Sekarang masih jam 3 pagi lewat beberapa menit.

"Kenapa Git?" tanya Ina yang ternyata sudah tepat berada di sisi samping kiriku.

Mataku melihat ke arahnya. "Nope."

Ina mengangguk, lalu meminum secangkir kopi yang berada di tangannya. "Kalau lihat bintang kaya gini serasa nyaman banget yah." Ucapnya sambil melihat ke langit.


Dengan seketika, aku pun mengikuti arah pandangnya. Indahnya malam ini ketika ribuan bintang menyapa kita semua dari atas langit sana. Tadinya, aku yang berposisi duduk sekarang sudah tertidur sambil melihat bintang yang bersinar di atas sana.

"Git." Panggil Ina kepadaku.

"Hem." Sahutku.

Ina kembali meminum kopinya sebelum melanjutkan kata-kata. "Kadang jujur sama perasaan sendiri itu susah ya." Ujarnya.

Aku tak berani menyahutinya karena entah kenapa tiba-tiba hatiku sedikit memanas. "Kadang diri kita sendiri gak bisa jujur kalau sebenernya kita suka sama dia sejak lama." Ungkap Ina.

"Kadang yang kita gak bisa ngungkapin semua perasaan yang ada dengan jelas kepada dia, karena mungkin aja dia sedang terlihat bahagia bersama yang lain." Lanjutnya.

Ina menarik napas secara perlahan lalu menatap bintang di atas sana. "Tapi justru kamu harus lihat dia dari sisi pandang yang lain." Ujar Ina dengan senyuman diakhirnya.

"Walau dia terlihat bahagia bersama yang lain, bagaimana dengan faktanya kalau ternyata dia juga memendam rasa kepada diri kita sendiri." Kemudian Ina langsung bangkit dari duduknya.

"Jadi, cobalah jujur dengan perasaanmu sendiri. Entah akhirnya menyakitkan atau justru menyenangkan itu adalah urusan terakhir." Ucap Ina yang masih berdiri dengan menatap bintang.

"Berjuanglah ketika itu harus diperjuangkan." Lanjut Ina yang kemudian pergi dari posisinya.

Mendadak aku jadi terdiam memikirkan semua ucapan yang keluar dari mulut Ina. Aku memikirkan segalanya yang terjadi selama aku bersamanya. Aku memikirkan apa yang sudah dia perbuat untuk aku hingga sejauh ini.

Mataku terpejam begitu saja. "Berjuanglah ketika itu harus diperjuangkan." Ucapku dalam hati ketika mengulang kata-kata Ina. 







Yokatta kalau kamu udah tetep sehat

jangan selalu bikin khawatir

gak baik buuat kesehatan hati


-Jangan lupa tersenyum dan tetep bahagia selalu-


Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang