Part 2

6.5K 220 35
                                    

-Rumah dan matematika-



"Assalamualaikum. Gita pulang." Kataku ketika membuka pintu berwarna putih.

Namun tak ada yang membalasnya, hanya ada hembusan angin yang menjawabnya secara lirih.

Tak ingin berlarut-larut melihat sekeliling, akhirnya aku naik ke lantai dua dimana kamarku berada. Kamar yang didominasi warna hitam dan putih selalu menjadikan warna favorite bagiku.

"Lucu ngelihat diri sendiri yang jiwanya udah gak ada." Ucapku sambil terus melihat kearah cermin. Lalu tersenyum miris. "Thanks udah buat diriku sendiri jadi kaya gini." Lanjutku, kemudian berbalik badan dan memasuki kamar mandi.


*** *** ***


Jam menunjukkan pukul 07.32 malam, tapi tak ada tanda-tanda untuk aku tidur ataupun hanya sekedar makan untuk malam ini.

Deru mesin mobil terdengar dari arah luar dan kini aku buru-buru berjalan menuju pintu dan menguncinya dari dalam.

Hingga ketukan pintu kini terasa jelas di depanku. Aku masih berdiri di depan pintu yang baru saja aku kunci.

"Kak." Ucap seorang di luar sana.

"Kakak gak mau makan bareng aku sama Ayah dan Bunda?" lanjutnya.

"Kak, ada Bunda loh kak." Ucapnya kembali sebelum meninggalkan sebuah pintu yang tak pernah terbuka untuk semua orang.

Langkah derap kaki yang terus menjauh hingga akhirnya tak terdengar kembali. Pecah sudah air mata yang aku bendung selama ini.

"Sorry... sorry."

"Sorry buat Bunda dan Ayah kecewa." Ucapku yang masih teruus menangis.

"Dan sorry buat kamu, Alka. Sorry, kakak selalu marah sama kamu."

Tangisan pun menjadi dengan begitu sesaknya, seakan-akan semua beban tercurahkan didalamnya. Malam yang panjang untuk seorang yang bernama Gita Nadiva hingga tangisan tak terdengar lagi.

Kini, hanya hempasan angin yang terus berkeliaran keluar masuk melalui fentilasi jendela. Berharap angin selalu memeluk untuk memberi sebuah kehangatan namun nyatanya, angin terlalu memberi suhu dingin untuk hati dan pikiran.


*** *** ***


Jam masih menujukkan pukul 05.56 pagi tapi aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Duduk di meja makan dengan mengambil sehelai roti dan tak lupa dengan isian coklat yang selalu menjadi kesukaanku setiap hari.

Tapi, belum saja selesai mengoleskan isian coklat di rotiku, tiba-tiba saja meja makan sudah dipenuhi oleh anggota keluarga yang lain.

"Kakak kemarin aku pulang sekolah di ajak jalan-jalan dong sama Bunda dan Ayah. Kita keliling mall, kak." Ucap Alka dengan antusianya.

"Hem..." kata ku dengan biasa saja.

"Terus aku makan eskrim kak, terus dibeliin baju sama Bunda. Soalnya kata Bunda, Bunda mau berangkat kerja lagi hari ini ke Yogya, kak." Ucap Alka yang masih sangat antusias.

"Gimana nilai sekolah kamu? Bagus?" tanya Bunda.

"Iya." Ucapku sekenannya saja.

"Kak, kata Ayah nanti aku mau dimasukin les Matematika supaya bisa pinter kaya kakak." Kata Akla denga nada bahagianya.

"Nanti kalau kamu udah pinter jangan ngecawain Ayah, ya. Yang jujur sama Ayah jangan pernah ngebohongin Ayah apalagi Bunda." Ucap Ayah dengan senyum bahagianya.

"Siap Ayah, Akla nanti mau jadi kaya kakak yang pinter Matematika." Balasnya dengan senyuman yang masih tertera diwajahnya.

"Ngitung perkalian aja masih salah. Mangkannya jangan kebanyakan main. Belajar!" Ucapku dengan nada menahan amarah.

"Kalau di suruh belajar sama kakak aja susah. Giliran ada Bunda doang kamu mau belajar." Lanjutku.

"Kamu tuh cowok, gak usah sok manja kaya anak kecil gitu udah kelas 2 SD kok masih kaya anak kecil. Apa-apa maunya diturutin giliran di suruh belajar cuma maunya sama Bunda doang. MANJA." Kata aku sedikit penekanan di akhir kalimat.

"Gita, jangan marahin adik kamu kaya gitu." Kata Bunda sedikit berteriak.

Tanpa pikir panjang, aku berdiri dan ingin segera pergi meninggalkan mereka.

"Gita pamit." Ucapku yang kemudian meraih tangan Bunda dan Ayah.

Semarah apapun kondisiku saat ini tapi salam dengan orang tua tak pernah bisa aku hindari.

Cukup hati yang menahan amarah namun tidak dengan pikiran yang harus tetap tenang. Tak tahan dengan semua yang ada dalam dada kini titik butiran air terus mengalir sepnajang aku berjalan keluar dari pemukiman rumah.

"Cukup Git, it's oke. Semuanya baik-baik aja, oke." Kataku meyakinkan diri sendiri.


Tak lama angkot yang biasa aku naiki menuju sekolahpun sudah tiba. Lalu berharap dalam-dalam agar hati ini dapat tenang ketika tiba di sekolah.

Setidaknya. Aku harap begitu.



-Jangan lupa tambah semangat dan senyummu hari ini-


Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang