Part 42

2.2K 135 10
                                    


Aku berdiri dalam kelegisahan, antara takut atau sudah tak ingin merasakan sakit yang tak pernah memunculkan darah namun membuat luka yang begitu amat besar. Sesaat, aku menghela napas sebentar sebelum melangkah kaki menuju depan.



Perlahan tapi pasti, aku menggenggam sebuah piala dengan lebih erat. Hatiku mulai gelisah dan pikiranku berkelana jauh dalam jejak bayangan masa lalu. "Assalamualaikum, Gita pulang." Salamku ketika membuka pintu.

Baru ingin melangkah dan menghela napas dengan tenang, suara yang sudah lama hilang kini kembali lagi. "Malam-malam kaya gini kamu baru pulang?" tanyanya.

Hatiku sudah tak memiliki rasa, entah mati rasa atau aku yang sedang ketakutan. Semuanya aku rasakan dan aku pendam lewat hati. "Bunda kapan pulang?" tanyaku balik kepada Bunda.

Tangan kiriku yang menggenggam piala seolah lebih mengeratkan lagi. "Bunda baru pulang 2 hari yang lalu." Jawab Bunda dengan tenang yang sedang duduk di sofa.

Aku terdiam sejenak, mulutku ingin mengucapkan sesuatu namun kenapa rasanya seperti membisu. "Kamu habis dari mana?" tanya Bunda.

Dengan usaha yang keras, aku mencoba mejawab pertanyaan dari Bunda. "Habis dari perlombaan turnamen karate." Jawabku sambil menahan sakit yang ada dalam hati.

Bunda tersenyum miris dengan apa yang aku ucapkan. "Terus kamu memang?" tanya Bunda lagi.

Aku mengangguk mantap. "Juara 1, Bun." Jawabku sambil menahan bendungan air yang sudah memenuhi kelopak mata. Seolah menguatkan hati agar tak menangis begitu saja.

"Belum cukup 10 piala pura-pura kamu dikamar?" tanya Bunda dengan penuh kekecewaan. "Belum cukup kamu ngecewain Bunda dan Ayah dengan membawa piala bohongan ke rumah?" lanjut Bunda.

"Hati Bunda masih sakit waktu kamu bohongin Bunda kalau lomba matematika kamu dari sekolahan. Kasih tau Bunda sekarang kamu bohong apa lagi?" ucap Bunda.

Air mataku tumpah seketika, membasahi pipiku begitu saja. "Berapa kali Gita bilang. Itu bukan piala bohongan Bunda." Ucapku sambil teriak. "Aku tahu Bunda kecewa karena aku ngebohongin Bunda." Lanjutku yang sambil terisak dalam tangisan.

"Tapi asal Bunda tahu, Bunda selalu bilang aku boleh ikut lomba asal sekolah yang nyuruh. Terus gimana jadinya kalau sekolahku aja gak berani buat ngirim anak didiknya ke perlombaan olimpiade matematika."

"Aku tahu Bunda kecewa banget sama aku. Tapi berapa kali aku ngejelasin kalau piala itu bukan piala bohongan. Aku ngikutin lomba matametika itu dengan kategori tingkat umum."

"5 piala matematika, 3 piala cipta puisi, dan 2 piala cerpen. Itu semua gak bohong, Bun. Berapa kali Gita harus jelasin. Berapa kali Gita harus ngomong panjang lebar ngelejasin ke Bunda." Ucapku sambil terisak dalam tangisan.

Bunda yang menahan amarahnya sedari tadi pun akhirnya meledak. "Kamu yang ngecewain Bunda, Git. Itu semua salah kamu. Bunda sakit hati, Bunda malu sama keluarga karena kamu sudah bohong." Teriak Bunda dengan kerasnya.

"Aku tahu Bunda sakit, terus gimana sama aku? Aku juga sakit, Bun. Aku sakit setiap liat bunda ngeliat aku dengan penuh kekecewaan. Aku sakit saat Bunda gak percaya ketika aku bawa pulang piala."

"Aku sakit Bun. Aku udah ngerasain sakitnya sejak kecil, Bun. Aku ngerasain sakitnya sejak Bunda belum kecewa sama aku. Aku juga sakit, Bun." Isakku dengan sejuta kepedihan.

"Bunda lebih sakit, Git. Kamu gak llihat Ayah dan Bunda kecewa banget sama kamu. Kamu gak lihat gimana sedihnya Ayah dan Bunda. Ayah sama Bunda tuh malu Git. Malu kalau ketemu keluarga karena mereka tahu kamu bohongin Bunda soal piala bohongan kamu itu." Ucap Bunda dengan penuh amarah yang meluap.

Aku mengusap air mataku dengan cepat lalu menatap Bunda yang menahan tangisannya di depanku. Aku tersenyum tipis melihatnya. "Bunda malu karena aku ngelakuin kesalahan."

"Bunda sakit hati karena aku bohongin Bunda dengan bilang kalau aku ikut lomba matematika karena dipilih pihak sekolah, padahal aku ikut lomba matematika murni karena pribadi sendiri, aku belajar sendiri, dan pendafatarannya pakai uangku sendiri."

"Bunda kecewa karena itu semua, coba Bunda lihat. Bukan cuma Bunda dan Ayah yang sakit hati. Tapi aku lebih sakit karena ulah kalian sendiri tanpa kalian sadari." Teriakku dengan kencang dan langsung lari ke arah kamarku.



Sesampainya di kamar, aku langsung menutup pintu dengan cepat dan menguncinya. Tangisanku semakin menjadi saat itu juga. Air mataku mengalir begitu deras, hatiku mulai merasakan sakit begitu berkencambuk.

Aku memukul dadaku dengan begitu keras agar rasa sakit yang berada di hati hilang begitu saja digantikan oleh rasa sakit yang ada di tanganku. Tapi sayangnya tak semudah itu, sakit yang ada di hati tetap begitu terasakan.

Sakit yang tak akan mengeluarkan darah namun membentuk luka yang begitu mendalam. Begitulah yang dirasakan hatiku saat ini. Sungguh sangat menyakitkan.









Jangan jadi pembaca berhantu yah

Minimal tinggalin jejak vote kalian kalau kalian gak mau komentar



-Jangan lupa bahagia-

Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang