Part 33

2.4K 102 14
                                    

-Pertandingan yang sesungguhnya-






Bruk.


"Gita bangun."

"Bangun Git."

"Ayo bangun, kamu kuat."

"Gita bangun."


Suara mereka masih dapat aku dengar dengan jelas. Aku bangun dengan pergelangan kaki sangat sakit. Melihat poin untuk sekian kalinya yang seri.

Sudah 3 kali aku dibanting oleh lawanku dan sudah 3 kali juga dia dibanting olehku.

Manik mataku melihat waktu pertandingan yang tersisa 1 setengah menit lagi sebelum pertandingan ini selesai.

Kita beruda saling menatap tajam satu sama lain, seakan-akan ingin meruntuhkan mental lawannya dengan seketika.

Aku sangat yakin wajahku sudah memucat sejak pertandingan final ini dimulai.


"Sial, lupa kalau belum makan dari tadi pagi." Umpatku dalam hati. Karena sekarang tenangaku seolah tersisa sedikit sekali.


Dia mulai mendekat kearahku dengan terus menatap tajam pergerakanku. Otakku berpikir keras membaca pergerakannya, tangannya seolah membuat pergerakan namun aku juga menangkap kakinya ingin mengambil ancang-ancang.

Aku mengambil keputusan dengan cepat, maju satu langkah lebih dekat menahan sakit di pergelangan kaki kanan.

Kaki kiriku langsung menendang ke atas tepat ke arah bagian belakang kepalanya. Lalu refleks tanganku meninju luruh ke arah depan dada kemudian mengunci pergerakannya dengan sekali banting.


Mereka bersorak kegirangan.

Tepuk tangan menggema dalam ruangan.

Namun aku tak menghiraukan semuanya, bahkan wasit yang sudah berada disampingku menggenggam pergelangan tanganku dengan dia disampingnya.

Justru pandanganku yang memburam, sedikit abu-abu kemudian semuanya berganti warna menjadi hitam.


*** *** ***


Bola mataku menyesuaikan terlebih dahulu dengan cahaya yang ada di ruangan. Setelah di rasa cukup, mataku langsung membuka lebar akibat kaget karena mereka berkumpul mengelilingiku.

"Sumpah, Git. Gak lucu habis menang langsung pingsan." Cecar Ina yang berdiri disamping kiriku.

"Tau bikin khawatir aja." Sahut Anton dan Nuel yang berada disamping Ina.

Sekarang Artur, Fatur, Agni, dan Hani yang memandangku dengan raut wajah kesal. Disusul dengan sorot mata Gara yang entah susah sekali aku baca, kemudian Reyhan yang berdiri disampingnya dengan raut muka tercetak jelas kekhawatirannya.

Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang