Part 11

3.5K 146 13
                                        

-Luka jahitan-




Pagi ini aku sudah rapih, di balut dengan baju biasa. Tak ada seragam sekolah yang menempel hari ini. Hanya baju sehari-hari untuk bermain seperti biasa.

Karena anak OSIS kali ini akan ada rapat untuk pematangan materi untuk perpisahan anak kelas XII.

Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi aku sudah keluar rumah menaiki ojek online yang sudah aku pesan. Tujuannya bukan ke sekolah melainkan ke rumah sakit.

Karena darah di tangan ini yang sesekali terus keluar. Jadi aku harus segera ke rumah sakit. Untungnya saja rapat OSIS baru akan di mulai jam 8 pagi.


Sesampainya di rumah sakit yang buka 24 jam aku langsung mendaftarkan diri sebagai pasien, dan lagi lagi hari ini memang sangat beruntung karena mungkin aku datang terlalu pagi kerumah sakit ini karena yang baru mendaftar hari ini hanyalah aku.

Itu karena dapat terlihat jelas dari nomor antrian jika aku nomor 1.

"Gita Nadiva." Ucap perawat di depan pintu.

"Iya saya." Kataku yang langsung berdiri dan memasuki ruangan dokter.


Sesampainya di sana aku langsung ditanya keluhannya apa oleh sang dokter yang aku perkirakan umurnya sekitar hampir menginjak kepala 4.

"Dari kapan darahnya terus menetes seperti ini?" tanya dokter yang memperhatikan luka memar dengan darah menetes di tanganku.

"Semalem dok." Jawabku tersenyum ramah.

"Sakit atau tidak?" tanyanya lagi.

"Mati rasa dok." Ucapku sambil menyengir.

"Silahkan berbaring di situ dulu." Ucap dokter yang menunjukkan ranjang di ruangan itu.

Aku menurutinya saja berbaring di ranjang yang dokter tunjukkan kepadaku.

"Saya jahit dulu tangan kamu." Kata dokter sambil mengeluarkan benda seperti hansaplas yang biasa aku beli di warung. Namun bedanya ini berwarna putih.

Aku memperhatikannya dengan baik, lalu tercengang seketika. Sekarang zamannya sudah dipermudah. Tak perlu lagi menngunakan jarum untuk menjatih melainkan ada benda ini yang cara kerjanya sama seperti menjahit.

"Alat kesehatannya makin canggih yah dok." Kataku kagum sambil melihat sang dokter menggulung perban di tangan kananku.

"Makin kesini yah jelas makin eranya modern." Ucap dokter yang terus melilit tanganku dengan perban.

"Selesai." Kata dokter lalu beranjak dari tempatnya ke tempat duduknya semua.


Lantas aku bangun, lalu mengampiri meja dokter dengan duduk didepannya.

"Lukanya hanya luka robek biasa dan sepertinya tidak ada keretakan di jari-jari tangan. Nah ini obat oleh ketika perbannya sudah di buka, perbannya di bukan setelah 3 hari kedepan. Lalu obat pereda nyerinya di minum 2 kali sehari setelah makan. Ini resepnnya silahkan, obatnya di ambil di luar yah." Jelas dokter dengan senyum ramahnya.

"Makasih dok." Kataku yang baru saja ingin berdiri.

"Oh iya satu lagi, selama 3 hari kedepan tolong tangannya jangan banyak bergerak dulu." Lanjut dokter.

Aku mengiyakannya lalu mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan.


*** *** ***


Aku sedikit terburu-buru ketika sampai di sekolah. Karena arloji di tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 08.37 pagi.

Jarak rumah sakit ke sekolah seharusnya hanya di tempuh dengan waktu 45-60 menit namun karena terjebak macet aku jadi sedikit terlabat datang kesekolah.


"Assalamualaikum." Ucapku ketika masuk dan memikirkan apa lagi hukuman yang aku dapatkan.

Terlihat jelas di sana mereka semua sedang melingkar untuk diskusi pematangan konsep. Sekarang, semuanya menatap kearahku.

"Telat berapa menit Git?" ucap Hana dengan tegas.

"Hampir 45 menit." Ucapku dengan senyum tipis dan tangan yang masih di belakang tubuhku.

"Alasannya?" teriak Adi yang duduknya tak jauh dari Hana.

"Em... anu itu kejebak macet. Nah iya itu." Ucapku yang terus berpikir.

Bukan apa-apa aku terlihat gugup seperti itu karena sekarang seorang ketua OSIS sedang menatap kearahku dengan sangat tajam. Mungkin karena dia tahu aku sedang mencari alasan yang tepat.

"Tadi tuh bangun kesiangan jam 7 lewat kak terus..."

"GITA JAWAB YANG JUJUR." Teriak Bayu dengan wajah datar yang memotong ucapanku.

Aku hanya menghela napas pasrah lalu melihat ke arah mereka semua yang penasaran dengan alasan keterlambatanku.

"Fine." Ucapku yang pasrah. "Tadi pagi habis di rumah sakit dan baru kelur jam 7 lewat selebihnya kejebak macet." Lanjutku.

"Ngapain ke rumah sakit?" tanya salah satu anggota OSIS.

"Aish... Nih tangan habis dijahiit." Kataku pasrah lalu menunjukkan tangan kananku dengan balutan perban.

"Bambang, kok linu yak ngedenger kata habis di jahit." Teriak Vika yang duduk samping Adi.

"Ya udah cepat duduk di kursi kamu." Ucap Bayu yang masih berwajah datar.

"Lah, gak di kasih hukuman dulu nih?" tanyaku sedikit teriak ke arah ketua OSIS.


"Astaga Gita, itu tangan habis di jahit masih mikirin hukuman."

"Kalau aku jadi Gita mah mending ijin dah."

"Ngedekem di rumah terus istirahat."

"Paling top Gita mah, masih sakit aja mikirin hukuman."



Sayup sayup aku mendengar bisikan mereka yang berasal dari seluruh anak-anak OSIS diruangan ini.


"Nanti hukumannya terakhir." Ucap Bayu yang sudah menatap tajam ke arahku.

Aku tak membalas ucapannya dan langsung duduk di kursi yang biasa aku duduki. Mulai berdiskusi hingga menit berikutnya berlanjut.



See you bye

-Jangan Lupa Tersenyum Manis Untuk Hari Cerahmu-

Gita Nadiva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang