(9) rumah

7.8K 351 104
                                    

Kalo gini enak gak?

Tubuh anneth mengejang saat deven membawanya ke dalam dekapan. Pikirannya kosong tak mampu memahami maksud deven tapi anneth bisa merasakan seperti ada sesuatu yang deven ingin salurkan melalui pelukan ini. Belum sempat mendorong tubuh deven untuk memberinya jarak, deven sudah meletakkan dagunya di pundak anneth.

"Please gue pinjem sebentar aja, biarin kaya gini dulu" bisik deven.

Dari suara yang keluar dan juga tingkah seperti ini, anneth paham deven sedang membutuhkan partner berbagi. Mungkin sebenarnya musuhnya ini menutupi kesedihan dengan menggunakan keangkuhannya. Berhasil, suara pinta deven dengan lemah telah berhasil menyentuh sisi feminis anneth untuk berlaku lembut.

Anneth masih belum mampu melakukan gerakan apapun. Sebenarnya deven justru terlihat seperti memeluk benda mati saat ini. Beberapa saat , anneth seperti semakin dapat menangkap perasaan yang deven coba salurkan tanpa sepenggal kata yang keluar dari mulutnya. Hanya pelukan erat persis seperti pelukan takut kehilangan.

"Udah ?" tanya anneth lembut saat deven sudah membebaskan tubuhnya. Berada dalam rengkuhan musuhnya selama hampir sepuluh menit ternyata cukup membuat suhu tubuhnya menghangat. Bahkan mungkin anneth harus memeriksa dirinya, sepertinya sebagian perasaanya telah meleleh bersama pelukan deven.

"Hmm ?" deven mengernyit menerka maksudnya. "Masih mau lagi ?" tanya deven sudah kembali dengan sisi iblisnya.

"Udah deh kali ini gak perlu berlaga angkuh dan nyebelin lagi. Gue tau lo lagi butuh temen" tukas anneth membuat jiwa angkuh deven sedikit tahu diri.

Tidak ada cerita yang keluar dari mulut keduanya, deven justru memainkan gitar akustiknya dengan nada lembut menyentuh. Tapi anneth sudah sejak tadi meninggalkan novelnya, hanya memandang lurus ke depan dan sesekali menatap langit. Sepasang musuh bebuyutan ini sepertinya sama-sama sedang dirutuki ego dan harga diri yang tak mau tampak lemah satu sama lain. Itulah sebabnya mereka masih membisu dalam satu ayunan yang sama.

"Lo tau cewek yang tadi di ruangan gue siapa ?" akhirnya deven menang dari rasa gengsinya yang sangat tinggi.

Anneth menoleh ke arah deven berusaha mengamati dan menjadi pendengar yang baik. "Pacar lo kan?" jawab anneth ringan, tapi jauh dari nada tinggi dan sombong yang biasa ia sajikan.

Deven mengangguk dua kali, tapi tidak juga melanjutkan pembicaraannya. "Lo takut banget dia marah karena tadi?" kali ini anneth kembali harus mengalah dan memilih bersuara. Tapi usahanya sia-sia deven tidak juga menanggapi kalimatnya.

Dua kali anneth membuang nafas terdengar sangat jengah menunggu deven kembali melanjutkan maksud ceritanya. "Kalo lo takut banget biar besok gue yang temuin dia. Lo tenang aja" tukasnya tegas membuat deven menoleh dan tersenyum.

"Bukan itu" ucapnya singkat. Baiklah, setidaknya deven kembali bicara.

"Lalu ?" tanya anneth tak sabar.

Satu ...

Dua ...

Tiga ...

Kesabaran anneth sudah menguap pada detik ketiga saat deven tak kunjung melanjutkan obrolannya.
"Kalo gak niat buat cerita , harusnya gak perlu memancing orang lain untuk peduli" ujar anneth.

"Gue bingung harus gimana ceritanya sama lo. Lo masiih kecil, gue rasa lo belum bisa memahami masalah antara gue, dia, dan karir kami" jelasnya.

"Ciiih sok dewasa ribet" decih anneth saat mendengar ia begitu kecil dalam sudut pandang deven.

"Yaudah kalo gak mau cerita, bisa kan minggir sekarang gue mau lanjut baca" tanya anneth antara serius atau memancing keributan kembali, keduanya beda tipis.

Damn you, doctor !!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang