Sumpah ini ngetiknya sudah sambil terantuk-antuk dan matanya udah merah pedih
_______________Malam ini kemacetan jalanan kota seperti ikut bersorai menertawai kesedihan anneth. Sepanjang perjalanan, mulutnya membungkam rapat, hanya kedua matanya yang masih terus meneteskan cairan bening. Di dalam kekecewaannya anneth masih merasa bersyukur atas keberadaan friden. Kalau saja tadi tidak ada friden, ntah apa jadinya nasib anneth yang terbuang begitu saja, tergantikan oleh nadine.
Pikiran dan perasaannya begitu berkecamuk dalam lamunannya. Anneth bukan menangisi hubungannya dengan deven, ia tersakiti oleh kekecewaannya sendiri. Masih begitu gamblang bagaimana deven justru terkesan menyudutkannya di depan nadine. Saat ini, belum ada terpikirkan sedikitpun bagaimana nasib kelanjutan hubungannya, hatinya masih begitu sesak mengingat kejadian tadi.
Harus diakui , nashwa tidak salah masih menyisakan perasaan untuk seseorang seperti friden. Friden benar-benar tenang dan dewasa menyikapi kejadian tadi. Sepanjang perjalanan ia juga sama sekali tidak mengganggu lamunan anneth ya g sibuk dengan air matanya. Ia hanya diam, tenang dan terfokus pada jalanan. Ia tidak ingin bersikap salah yang justru akan membuat anneth merasa terkasihani.
Friden telah menepikan mobilnya tepat di sisi gerbang rumah anneth. Ia juga sudah melepas seat beltnya , kemudian menoleh ke arah anneth yang masih terpaku. "Dek..." panggilannya ternyata berhasil membuat anneth menoleh menyajikan matanya yang basah.
Tidak ada sahutan dari keduanya, friden hanya tersenyum. Kemudian tangannya mengulur meraih dan menyisir helai rambut anneth dengan jemarinya.
"Jangan buat mami sama papi khawatir sama keadaan kamu" ucapnya lalu mengangguk meminta anneth untuk turun.
Kaki keduanya melangkah kecil dan lambat. Satu tangan friden masih tersandar di bahu anneth.
Ting.... Ting...
Satu tangannya lagi ia pakai untuk menekan bel rumah anneth.
"Ya, selamat..." kalimat sambut terputus begitu saja dari mulut nashwa yang baru membukakan pintu.
Kaget dan tentu saja cemas melihat adiknya pulang dengan keadaan cukup berantakan. Dahinya berkerut, kedua alisnya menukik mengamati kedatangan adiknya. Anneth berlalu begitu saja menerobos nashwa dengan langkah sendu menuju kamarnya. Seribu kalimat tanya ingin sekali nashwa berondong kepada anneth saat ini. Namun semua hasratnya urung ketika meliht friden memberi kode anggukan dan arah pandang untuk mengikuti anneth ke dalam. Dari tatapannya seolah friden mengatakan "Nanti gue ceritain wa". Nashwa pun memilih masuk mengikuti langkah anneth, disertai friden di belakangnya.
Otak anneth sedang tidak bisa dipakai berpikir normal, tanpa mengganti gaunnya dengan piyama tidur, ia meringkuk begitu saja di atas kasurnya.
"Istirahat dek" ucap nashwa menyelimuti anneth dan mengusap pelan dahi adiknya yangbterasa panas berpeluh.
Sejak tadi, friden hanya menunggu keduanya dari ambang pintu sampai nashwa berjalan ke arahnya.
"Sorry wa, gue yang nganter anneth dengan kondisi begitu" ucap friden saat keduanya melangkah menuruni tangga.
"Aku boleh tau kejadiannya kan den ?" tanya nashwa merasa kikuk, ragu, dan canggung. Sudah lama sekali ia tidak pernah berbicara secara personal seperti ini dengan friden.
Setelah mendapat anggukan dari friden, nashwa menggiring langkah friden ke beranda belakang. Keduanya duduk di bangku kayu yang cukup untuk dua orang, menghadap ke arah kolam renang dan taman anggrek koleksi mamanya. Nuansa yang mendukung terciptanya romansa, kalau saja mereka tidak sedang sama-sama menekan perasaan rindu namun kaku satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn you, doctor !!!
Teen Fictiondr. Deven Putra Tanuwijaya Seorang dokter muda idaman semua pasang mata kaum hawa. Muda, tampan, cerdas merupakan daya tarik utamanya. Tidak hanya perempuan muda yang selalu berdecak tiap melihat kharisma dirinya yang menguar. Bahkan anak kecil pun...